GUILLAIN
BARRE SYNDROME (GBS)
PENDAHULUAN
Guillain Barre syndrome
(GBS) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang
disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis.
John Lettsom, 1787 ,
merupakan orang pertama yang mengangkat masalah neuropati perifer. Ia
mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi alkohol yang
berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang adanya kelainan
patologis maupun anatomis dari penderita.
James Jackson, 1822, kembali
mendeskripsikan penyakit ini sebagai alcoholic neuropathy , namun tanpa kelainan patologis dan
anatomis.
Pada tahun 1859, Landry,
mempublikasikan artkelnya yang berjudul “
A note on acute ascending paralysis “
. Artikel ini bercerita tentang seorang pasien yang telah mengalami paralisis akut selama lebih
dari 8 hari, sebelum akhirnya meninggal dunia. Paralisis ini meliputi kelemahan
otot otot proksimal, otot pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan
takikardi. Paralisis ini dikenal dengan
sebutan Landry’s paralysis.
Osler, 1982, lebih
terperinci dengan apa yang disebutnya sebagai Acute Febrile Polyneuritis.
Pada tahun 1916, Guillain,
Barre, dan Strohl mempublikasikan
penelitian mereka yang berjudul “ On a
syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis of cerebrospinal fluid
without a cellular reaction : Remarks on the clinical characteristics and
tracings of the tendons reflexes “ . Ketiga orang ini menemukan kelainan
patologis yaitu adanya disosiasi
albuminositologi di dalam cairan serebrospinal dan disertai dengan
radikuloneuritis. Guillain tetap berpendapat bahwa apa yang mereka bertiga
kemukakan sebenarnya adalah Landry’s
paralysis . Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama penyakit ini
sebagai Guillain – Barre Syndrome. Sebab
mengapa Strohl tidak diikutsertakan sampai saat ini belum diketahui.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Guillain Barre syndrome (
GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang
bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan
atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf
sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.
Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi
pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf.
Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama
sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang
beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Penyebab terjadinya inflamasi dan
destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan
tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.
Pada sebagian besar kasus, GBS
didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus,
coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan
HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi
yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis,
Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium
Tuberculosa. ; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella,
dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen
dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan
anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4
minggu sebelum timbul GBS.
Patofisiologi
Infeksi , baik yang disebabkan oleh
bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan
kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel
limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan
memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah
susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan
sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang
kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang
kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon
imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki
sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun
terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut
menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien,
sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan
otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden
terjadinya GBS berkisar antara 0,4 – 2,0 per 100.000 penduduk.
GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah sama di
seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina , dimana
predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada
musim panas.
GBS dapat terjadi pada semua
orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden kejadian di seluruh dunia
berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat sejalan
dengan bertambahnya usia. GBS merupakan penyebab paralisa akut yang tersering
di negara barat.
Angka kematian berkisar
antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal
napas. Kesembuhan total terjadi pada + ° penderita GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan
cacat yang permanen.
Gejala klinis
GBS merupakan penyebab paralisa akut
yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke
empat ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini
biasanya bersifat bilateral. Refelks fisiologis akan menurun dan
kemudian menghilang sama sekali.
Kerusakan saraf motorik
biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif,
dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas,
tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari
kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf
pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat
timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan
bantuan ventilator dalam bernafas. Anak anak biasanya menjadi
mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk
berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia .
Kerusakan saraf sensoris
yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf
yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala
yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada
extremitas distal. Rasa
sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama
pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih
dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom tidak
jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan
takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest , facial
flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 %
pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
Kerusakan pada susunan saraf
pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah bilateral
facial palsy.
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan
kabur (blurred visions).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan
otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan
menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan
adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti
perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti
refleks Babinsky tidak ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan cairan
cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa
diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh Guillain, 1961, disebut sebagai
disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang
dari 10 / mm3 pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus
ataupun bakteri.
Gambaran elektromiografi pada awal
penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan
puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai
menunjukkan adanya perbaikan.
Pada pemeriksaan EMG minggu pertama
dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang
memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila
pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial
aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf
motorik.
Pemeriksaan MRI akan
memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira pada hari ke 13 setelah
timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah
besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS.
Pemeriksaan serum CK biasanya normal
atau meningkat sedikit .
Biopsi otot tidak diperlukan dan
biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute
of Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)
Gejala utama
1.
Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih
ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia
2.
Arefleksia atau
hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1.
Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2.
Biasanya simetris
3.
Adanya gejala sensoris
yang ringan
4.
Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis
bilateral
5.
Disfungsi saraf otonom
6.
Tidak disertai demam
7.
Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1.
Peningkatan protein
2.
Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan
elektrodiagnostik
1.
Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls
saraf
Gejala yang
menyingkirkan diagnosis
1.
Kelemahan yang sifatnya asimetri
2.
Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3.
Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4.
Gejala sensoris yang nyata
Diagnosis banding
GBS harus dibedakan dengan
beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada
myelopathy ditemukan adanya spinal cord
syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris,
dan disertai demam.
GBS juga harus dibedakan
dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria, diphteria, dan neuropati toxic
yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen, dan plumbum.
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism
dan myasthenia gravis juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat
keterlibatan otot otot extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada
myasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia.
Myositis juga memberikan
gejala yang mirip dengan GBS, namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya
paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal.
Penatalaksanaan
Pasien pada
stadium awal perlu
dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda tanda
vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang
terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam.
Ketidakstabilan
tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan
vasoaktive
juga harus disiapkan .
Pasien dengan progresivitas yang
lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.
Pasien dengan progresivitas cepat
dapat diberikan obat obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang
mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga.
Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang
terjadi maupun mempercepat penyembuhan.
Plasma
exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa
dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk
melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen standard
terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine sebagai
penggantinya. Perdarahan aktif,
ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.
Intravenous
inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi autoantibodi patologis
yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG,
yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells
patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah
gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE
dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan hanya memberikan PE atau IVIg.
Fisiotherapy juga dapat dilakukan
untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas
otot setelah paralisa.
Heparin dosis
rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya trombosis .
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah
gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia,
meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisa permanen
pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.
Prognosis
95 % pasien dengan GBS dapat
bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot
dan postural tremor masih mungkin
terjadi pada sebagian pasien.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan
kematian , pada 5 % pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.
Gejala yang terjadinya biasanya
hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. 3 % pasien dengan GBS dapat
mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing
inflammatory polyneuropathy.
PENUTUP
Guillain – Barre Syndrome
merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup
tinggi.
Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi
imunomodulator spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian
dan 12 % tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala
pertama muncul 20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling
baik dan paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali
gejala GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin
Penegakan diagnosis lebih
dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar