MIASTENIA GRAVIS
Pendahuluan
Miastenia gravis
merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa,
dan pada orang tua.
Sindrom klinis ini
dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia
gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun
1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan
sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi.
Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat
adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare.
Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia
gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.
Miastenia gravis
banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia
gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih
banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat
sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka
ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah
terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).
Tingkat kematian
pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh
insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara
drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi
spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan
melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok
untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun
pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.
Definisi
Istilah miastenia
gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan
satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya
terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal).
Miastenia gravis
ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas
lelah1.
Miastenia gravis
adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan
otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan
neuromuskular.
Patofisiologi
Pada orang normal,
bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson
terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara
tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial
lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi
dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan
sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang
mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan
neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase.
Pada miastenia
gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia
gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran
postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak
antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin
dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase.
Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran
postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka
kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar
timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum
jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus
pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung
menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma
timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik
apabila otot dipergunakan terus-menerus.
Pembuktian
etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus
mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus
yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan
pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat
germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.
Manifestasi
Klinis
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang
merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan
neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang
berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada
sekelompok otot tertentu saja.
Gambaran klinis
miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan sampai
pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala
kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas
tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira
20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90%
penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis
dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa
minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis
ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore
atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun.
Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari
sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari
kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau
bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi
pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator
palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada
miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka
perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis
juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan
otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan
lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien
mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien
tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung
.Kelemahan otot
non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang pertama terkena
adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.
Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot
ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk
lagi.
Terserangnya
otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat
berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Biasanya
gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan
obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami
eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan
keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid
atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit
penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang
disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi,
kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan
tegang.
4. Alkohol,
terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang
mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya.
Klasifikasi
Klasifikasi klinis
miastenia gravis dapat dibagi menjadi:
1. Kelompok I:
Miastenia okular
Hanya menyerang
otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus
kematian.
2. Kelompok IIA:
Miastenia umum ringan
Awitan lambat,
biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem
pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian
rendah.
3. Kelompok IIB:
Miastenia umum sedang
Awitan bertahap
dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan
terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan
sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan.
Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang
memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III:
Miastenia berat akut
Awitan yang cepat
dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai
terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam
waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik,
kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV:
Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis
berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala
kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau
secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
Disamping
klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian
miastenia gravis, ialah:
1. Miastenia
neonatus
Jenis ini hanya
bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi
yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan
oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.
2. Miastenia
anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini
mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.
3. Miastenia
kongenital
Biasanya muncul
pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan
antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak
progresif.
4. Miastenia
familial
Sebenarnya, jenis
ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada
miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
5. Sindrom
miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini
merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran
asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus
(small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis.
Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai
atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo
menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.
6. Miastenia
gravis antibodi-negatif
Kurang lebih ¼
daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada
umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak
adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap
pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.
7. Miastenia
gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin
(D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan
sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami
miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P
dihentikan.
8. Botulisme
Botulisme
merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi
pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis
berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum,
tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada
ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam
kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.
Mula-mula timbul
mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan
kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi
pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau).
Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada
kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian
besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi
urin).
Diagnosis
Diagnosis dapat
ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali
untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat
dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul
tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes
diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi
anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini
spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia
gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini
umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi
anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini
ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30%
penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi
ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan
adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon
(edrofonium klorida)
Tensilon adalah
suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan
antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil
pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya
miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena,
maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada
perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit),
menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih
lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih
lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat
diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom
miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa
dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses
patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah
meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang
penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik
biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau
patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan
pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi
antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma.
Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala
pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta
menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata
beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan
ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0
mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau
subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga
membaik.
Terapi
1.
Antikolinesterase
Dapat diberikan
piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg
per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin
metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per
oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian
atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan
kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya
aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari
kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi
pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi
bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik)
berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau
atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala
ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya
harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin
cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat
diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping
tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat
steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali
sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis
awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu)
untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan
dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek
samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan
klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)
dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian
prednisolon secara mendadak harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin
merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek
sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu
harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon
bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu
perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas
harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca
operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali
merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan
fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari
dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara
ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis
bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat
bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi
demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau
tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena
kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak
bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
Krisis Pada
Miastenia Gravis
Pada miastenia
gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan
sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis
krisis, yaitu:
1. Krisis
miastenik
Krisis miastenik
yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini
dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat
dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai
berikut:
- Kontrol jalan
napas
- Pemberian
antikolinesterase
- Bila diperlukan:
obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis
miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat
antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat
memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara
bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan.
2. Krisis
kolinergik
Krisis kolinergik
yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini
mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan,
atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan.
Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara
dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons
mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus
demikianadalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan
napas
- Penghentian
antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg
intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus
diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga
sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan
atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang
lebih rendah.
- Bila diperlukan:
obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan
kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini
akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan
memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
Kesimpulan
1. Miastenia
gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan
kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut
keseluruh tubuh hingga ke otot pernapasan.
2. Miastenia
gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan
neuromuskular akibat penyakit otoimun.
3. Gejala utama
miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang sembuh
kembali setelah istirahat.
4. Diagnosis
miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis,
serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin,
antibodi anti-otot skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes
prostigmin.
5. Pengobatan
miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase yang
kerjanya menghancurkan asetilkolin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar