DIABETES MELLITUS (DM)
A. Definisi
dan Etiologi
Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia. Berasal
dari istilah kata Yunani, Diabetes yang berarti pancuran dan Melitus yang
berarti madu atau gula.Kurang lebih istilah Diabetes Melitus menggambarkan
gejala diabetes yang tidak terkontrol, yakni banyak keluar air seni yang manis
karena mengandung gula. Oleh karena demikian, dalam istilah lain penyakit ini
disebut juga “Kencing Manis”.
Secara definisi medis, definisi diabetes meluas kepada suatu kumpulan aspek
gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik yang sifatnya
absolut maupun relatif.
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit atau gangguan kesehatan
yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah.
Tingginya kadar gula
karena kurang maksimalnya pemanfaatan gula oleh tubuh sebagai sumber energy karena kurangnya hormon
insulin yang diproduksi oleh
pancreas atau tidak berfungsinya hormon
insulin dalam menyerap gula
secara maksimal oleh sebab itu penyakit ini juga biasa disebut atau didefinisikan sebagai penyakit gula darah.
B. Epidemiologi
Berdasarkan
hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah
pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan adalah 5,7%. Prevalensi nasional
Obesitas umum pada penduduk usia >= 15 tahun sebesar 10.3% dan sebanyak 12
provinsi memiliki prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional Obesitas
sentral pada penduduk Usia >= 15 tahun sebesar 18,8 % dan sebanyak 17
provinsi memiliki prevalensi diatas nasional. Sedangkan prevalensi TGT
(Toleransi Glukosa Terganggu) pada penduduk usia >15 tahun di perkotaan
adalah 10.2% dan sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi
nasional. Prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi
kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%. Disebutkan
pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar
23,7% dan prevalensi minum beralkohol dalam satu bulan terakhir adalah 4,6%.
Diabetes
Melitus terdiri dari dua tipe yaitu tipe pertama DM yang disebabkan keturunan
dan tipe kedua disebabkan life style atau gaya hidup. Secara umum, hampir 80 %
prevalensi diabetes melitus adalah DM tipe 2. Ini berarti gaya hidup/life style
yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi DM. Bila
dicermati, penduduk dengan obes mempunyai risiko terkena DM lebih besar dari
penduduk yang tidak obes.
Secara
epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus
(DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Sedangkan
hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi
penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan
menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking
ke-6 yaitu 5,8%.
C. Faktor
Resiko
Faktor
risiko yang tidak bisa dimodifikasi:
1.
Ras dan etnik
2.
Riwayat keluarga dengan
diabetes
3.
Umur
Risiko untuk
menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia
> 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
4.
Riwayat melahirkan bayi
dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM
gestasional (DMG).
5.
Riwayat lahir dengan
berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.
Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa
dimodifikasi:
1.
Berat badan lebih (IMT
> 23 kg/m2).
2.
Kurangnya aktivitas
fisik.
3.
Hipertensi (> 140/90
mmHg).
4.
Dislipidemia (HDL <
35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL) v Diet tak sehat (unhealthy
diet).
5.
Diet dengan tinggi gula
dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe-2.
Faktor lain yang terkait dengan
risiko diabetes:
1.
Penderita Polycystic
Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi
insulin
2.
Penderita sindrom
metabolik
Memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
Memiliki riwayat penyakit
kardiovaskular, seperti stroke, PJK,PAD (Peripheral Arterial Diseases).
D. Manifestasi
Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus
dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi
insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau
toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan
melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini
akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang
bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat
badan berkurang. Rasa yang semakin besar (polifagia)
mungkin akan timbul sebagai akibat hilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan
mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering
memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poluria,
turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa
hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal
kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan
untukmengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.
Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama tidak sekali memperlihatkan
gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat bedasarkan pemeriksaan darah di
labolatorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih
berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen.
Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak
defisiensiinsulin secara absolut namun hanya secara relatif. Sejumlah insulin
tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau
hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau
terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukannya insulin untuk
menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasamya memperlihatkan kehilangan
sentivisitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri
berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadaiuntuk
mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap
insulin eksogen.
E. Patogenesis
Patofisiologi diabetes mellitus dalam segala bentuk terkait
dengan hormon insulin. Insulin disekresikan oleh sel-sel di pankreas dan
bertanggung jawab untuk mengatur tingkat glukosa dalam aliran darah. Hal ini
juga membantu tubuh dalam mengurai glukosa yang akan digunakan sebagai energi.
Ketika seseorang menderita diabetes, bagaimanapun, tubuh tidak memecah glukosa
dalam darah sebagai akibat dari metabolisme insulin abnormal. Hal ini
menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah, yang dikenal sebagai
hiperglikemia. Ketika kadar glukosa tetap tinggi selama periode waktu yang
panjang, komplikasi yang berat termasuk penyakit kardiovaskuler, kerusakan
ginjal, gangguan mata, dan masalah saraf dapat terjadi. Diabetes mellitus
terjadi dalam tiga bentuk yang berbeda – tipe
1, tipe 2, dan kehamilan.
Patogenesis DM tipe 1
Tipe 1 diabetes mellitus (DM) adalah gangguan di mana insulin katabolik
beredar sangat rendah atau tidak ada, glukagon plasma yang ditinggikan, dan
sel-sel beta pankreas gagal untuk menanggapi semua rangsangan sekresi insulin.
Pankreas menunjukkan infiltrasi limfositik dan perusakan mensekresi insulin
sel-sel pulau Langerhans, yang menyebabkan kekurangan insulin. Pasien
membutuhkan insulin eksogen untuk membalikkan kondisi katabolik, mencegah
ketosis, penurunan hyperglucagonemia, dan menormalkan lemak dan metabolisme protein.
Satu teori tentang etiologi DM tipe 1 adalah bahwa hasil dari kerusakan
sel beta pankreas dari agen infeksi atau lingkungan. Dalam individu yang secara
genetik rentan, sistem kekebalan tubuh sehingga dipicu untuk mengembangkan
respon autoimun terhadap antigen diubah beta pankreas sel atau molekul dalam
sel-sel beta yang menyerupai protein virus. Sekitar 85% pasien DM tipe 1
memiliki sirkulasi antibodi sel islet, dan mayoritas juga memiliki anti-insulin
terdeteksi antibodi sebelum menerima terapi insulin. Antibodi sel islet
Kebanyakan diarahkan terhadap asam glutamat dekarboksilase (GAD) dalam sel beta
pankreas.
Sebuah studi oleh Philippe dkk digunakan CT temuan scan, hasil tes
stimulasi glukagon, dan tinja elastase-1 pengukuran untuk mengkonfirmasi Volume
pankreas berkurang pada individu dengan diabetes mellitus. Ini juga bisa
menjelaskan disfungsi eksokrin terkait.
Saat ini, autoimunitas dianggap sebagai faktor utama dalam
patofisiologi DM tipe 1. Prevalensi meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun
lainnya, seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, dan penyakit Addison.
Prevalensi diabetes tipe 1 autoantibodi dan baru didiagnosa diabetes tipe 1
lebih tinggi pada pasien dengan tiroiditis autoimun.
Sekitar 95% pasien dengan DM tipe 1 memiliki antigen leukosit baik
manusia (HLA)-DR3 atau HLA-DR4. HLA-DQS dianggap penanda spesifik tipe 1 DM
kerentanan.
Metabolisme asam amino juga memainkan peran kunci dalam patogenesis
diabetes. Profil asam amino yang bisa membantu menilai risiko diabetes. Ini
mungkin membantu menjelaskan lebih lanjut bagaimana diabetes berkembang.
Bukti terbaru menunjukkan peran vitamin D dalam patogenesis dan
pencegahan diabetes mellitus. Kekurangan vitamin D juga merupakan prediktor
independen penting dari pengembangan kalsifikasi arteri koroner pada individu
dengan DM tipe 1. Joergensen dkk ditentukan bahwa kekurangan vitamin D pada
diabetes tipe 1 dapat memprediksi semua penyebab kematian tapi tidak
perkembangan komplikasi mikrovaskular. Kontribusi defisiensi vitamin D terhadap
kematian harus dimediasi oleh mekanisme nonvascular.
Namun, sebuah studi oleh Simpson et al menemukan bahwa baik Asupan
vitamin D atau 25 hidroksivitamin D tingkat sepanjang masa dikaitkan dengan
otoimun pulau atau perkembangan diabetes tipe 1.
Patogensis DM tipe 2
Diabetes
tipe 2 dicirikan oleh kombinasi dari resistensi insulin perifer dan sekresi
insulin tidak memadai oleh sel beta pankreas. Resistensi insulin, yang telah
dikaitkan dengan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma, menyebabkan
penurunan transportasi glukosa ke dalam sel otot, peningkatan produksi glukosa
hepatik, dan peningkatan pemecahan lemak.
Untuk
diabetes mellitus tipe 2 terjadi, baik cacat harus ada. Sebagai contoh, semua
orang dengan obesitas mempunyai resistensi insulin, tetapi diabetes berkembang
hanya pada mereka yang tidak dapat meningkatkan sekresi insulin cukup untuk
mengimbangi resistensi insulin mereka. Konsentrasi insulin mereka mungkin
tinggi, namun tidak tepat rendah untuk tingkat glikemia.
Disfungsi
sel beta adalah faktor utama di seluruh spektrum pra-diabetes untuk diabetes.
Sebuah studi dari remaja obesitas oleh Bacha dkk menegaskan apa yang semakin
menjadi stres pada orang dewasa juga:. Fungsi sel beta yang terjadi pada awal
proses patologis dan tidak selalu mengikuti tahap resistensi insulin Singular
fokus pada resistensi insulin sebagai " menjadi semua dan mengakhiri semua
"secara bertahap berubah, dan pilihan pengobatan yang lebih baik
mudah-mudahan yang fokus pada sel beta patologi akan muncul untuk mengobati
gangguan awal.
Dalam
perkembangan dari toleransi glukosa normal toleransi glukosa abnormal, kadar
glukosa darah postprandial kenaikan pertama, akhirnya, hiperglikemi puasa
berkembang sebagai penindasan glukoneogenesis hepatik gagal.
Sebuah skema
yang disederhanakan untuk patofisiologi metabolisme glukosa abnormal pada
diabetes melitus tipe 2 digambarkan pada gambar di bawah.
Skema
sederhana untuk patofisiologi diabetes mellitus tipe 2.
|
Selama
induksi resistensi insulin, seperti yang terlihat setelah tinggi kalori,
administrasi steroid, atau aktivitas fisik, kadar glukagon meningkat dan
peningkatan glukosa yang tergantung insulinotropic polipeptida (GIP) tingkat
menemani intoleransi glukosa, namun, postprandial glucagonlike peptida-1 (
GLP-1) respon berubah. Hal ini memiliki implikasi fisiologis, misalnya, jika
GLP-1 tingkat tidak berubah, GLP-1 dapat menjadi sasaran terapi di
negara-negara yang disebutkan di atas.
Tingginya
mobilitas kelompok A1 (HMGA1) protein regulator kunci dari gen reseptor insulin
(INSR). Fungsional varian dari gen HMGA1 berhubungan dengan
peningkatan risiko diabetes. Varian ini ditunjukkan untuk menyebabkan penurunan
kadar protein baik HMGA1 dan INSR.
Meskipun
patofisiologi penyakit berbeda antara jenis diabetes, sebagian besar
komplikasi, termasuk mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik, mirip
terlepas dari jenis diabetes.
Hiperglikemia
tampaknya menjadi penentu komplikasi mikrovaskuler dan metabolik. Penyakit
makrovaskuler, bagaimanapun, adalah jauh lebih sedikit berhubungan dengan
glikemia. Resistensi insulin bersamaan dengan abnormalitas lipid (yaitu,
peningkatan kadar kolesterol kecil padat low-density lipoprotein [LDL-C]
partikel, rendahnya tingkat kolesterol high-density lipoprotein [HDL-C],
peningkatan kadar trigliserida yang kaya lipoprotein sisa-sisa) dan kelainan
trombotik (yaitu, tipe-1 meningkat plasminogen activator inhibitor [PAI-1],
fibrinogen meningkat), serta faktor-faktor risiko konvensional aterosklerotik (misalnya,
sejarah keluarga, merokok, hipertensi, peningkatan LDL-C, rendah HDL-C),
menentukan risiko kardiovaskular. Tidak seperti hati dan otot polos, resistensi
insulin tidak berhubungan dengan akumulasi lipid meningkat miokard. Kelainan
lipid tetap persisten pada pasien dengan diabetes meskipun bukti-bukti yang
mendukung manfaat lipid-memodifikasi obat. Dosis statin up-titrasi dan
penambahan lainnya lipid-memodifikasi agentsareneeded.
Peningkatan
risiko kardiovaskular muncul untuk memulai sebelum perkembangan hiperglikemia
terang, mungkin karena efek resistensi insulin. Stern pada tahun 1996 dan
Haffner dan D'Agostino pada tahun 1999
mengembangkan "jam berdetik" hipotesis komplikasi, menyatakan
bahwa jam mulai berdetak untuk risiko mikrovaskuler pada awal hiperglikemia,
saat jam mulai berdetak untuk risiko makrovaskular di beberapa titik anteseden,
mungkin dengan timbulnya resistensi insulin.
Berbagai
jenis lain diabetes, sebelumnya disebut diabetes sekunder, disebabkan oleh
penyakit lain atau obat. Tergantung pada proses primer yang terlibat (misalnya,
kerusakan sel beta pankreas atau pengembangan resistensi insulin perifer),
jenis diabetes berperilaku sama tipe 1 atau diabetes tipe 2. Yang paling umum
adalah penyakit pankreas yang menghancurkan sel beta pankreas (misalnya,
hemochromatosis, pankreatitis, cystic fibrosis, kanker pankreas), sindrom hormon yang mengganggu sekresi insulin (misalnya,
pheochromocytoma) atau menyebabkan resistensi insulin perifer (misalnya,
akromegali, Cushing sindrom, pheochromocytoma), dan diabetes yang diinduksi
oleh obat (misalnya, fenitoin, glukokortikoid, estrogen).
Sebuah studi
oleh Philippe dkk digunakan CT temuan scan, hasil tes stimulasi glukagon, dan
tinja elastase-1 pengukuran untuk mengkonfirmasi Volume pankreas berkurang pada
individu dengan diabetes melitus. Hal ini juga dapat menjelaskan disfungsi
eksokrin terkait.
Diabetes
mellitus gestasional (GDM) didefinisikan sebagai setiap tingkat intoleransi
glukosa dengan onset atau pengakuan pertama selama kehamilan. Diabetes mellitus
gestasional merupakan komplikasi dari sekitar 4% dari seluruh kehamilan di
Amerika Serikat.
Diabetes
mellitus gestasional yang tidak diobati dapat menyebabkan makrosomia janin,
hipoglikemia, hipokalsemia, dan hiperbilirubinemia. Selain itu, ibu dengan
diabetes mellitus gestasional memiliki tingkat kelahiran sesar dan hipertensi
kronis.
Meski usia
lanjut, multiparitas, obesitas, dan merugikan sosial, pasien dengan diabetes
tipe 2 ditemukan memiliki kontrol glikemik yang lebih baik, lebih sedikit besar
untuk bayi usia kehamilan, kelahiran prematur lebih sedikit, dan penerimaan
perawatan neonatal lebih sedikit dibandingkan dengan pasien dengan diabetes
tipe 1. Hal ini menunjukkan bahwa alat yang lebih baik diperlukan untuk
meningkatkan kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes tipe 1.
Patogenesis DM tipe kehamilan (gestational)
Gestational diabetes mellitus (GDM) diakibatkan oleh kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran
hormon insulin yang tidak cukup, seperti Tipe 2 di beberapa kesaksian. Biasanya
terjadi selama kehamilan dan dapat sembuh setelah melahirkan. Diabetes
gestasional meliputi gestational impaired glucose tolerance (GIGT) dan
gestational diabetes mellitus (GDM) dan berdasarkan tahap klinis tanpa
mempertimbangkan patogenesis dapat dibedakan menjadi 3 antara lain :
1.
Insulin requiring for
survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
2.
Insulin requiring for
control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk
mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari
luar tubuh.
3.
Not insulin requiring
diabetes
Meskipun bersifat temporer namun Gestational diabetes mellituskemungkinan dapat merusak kesehatan janin karena efeknya berhubungan dengan
jantung, organ pernafasan yang dapat menimbulkan kecacatan pada bayi ketika
dilahirkan selain itu tentunya sangat mengganggu kesehatan ibu hamil. Hanya
sekitar 20–50% dari wanita penderita diabetes melitus tipe ini dapat bertahan hidup untuk itu bagi ibu hamil yang menderita tipe
diabet ini sangat memerlukan pengawasan secara medis sepanjang kehamilan dan
sebagai pencegahan anda perlu mengetahui gejala
diabetes dan hal hala apa saja yang menjadi penyebab diabetes melitus dan usahakan agar selalu memeriksa kadar gula secara berkala.
F.
Diagnosis
Diagnosis DM
harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan
hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menegakkan diagnosis DM harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.
Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya.
Untuk
memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini
banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya
sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai
alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan
cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala,
hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara
konvensional.
Tabel 1. Kadar glukosa
darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM
|
Belum pasti DM
|
DM
|
|
Kadar glukosa darah sewaktu
|
|||
Plasma vena
|
< 110
|
110 – 199
|
³ 200
|
Darah
kapiler
|
< 90
|
90 - 199
|
³ 200
|
Kadar glukosa darah puasa
|
|||
Plasma vena
|
< 110
|
110 – 125
|
³ 126
|
Darah
kapiler
|
< 90
|
90 - 109
|
³ 110
|
Langkah-langkah
untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis
klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus
vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu
³ 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa ³ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis
DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl,
kadar glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau
dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)
·
3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
·
Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
·
Puasa semalam, selama 10-12 jam
·
Kadar glukosa darah puasa diperiksa
·
Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml
dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
·
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama
pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*
·
Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl , atau
·
Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ³ 126 mg/dl (Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam
terakhir ) atau Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
pada TTGO**
Catatan:
*Kriteria diagnostik tsb harus
dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas
hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis atau
berat badan yang menurun cepat.
**Cara diagnosis dengan kriteria ini
tidak dipakai rutin diklinik.
G. Komplikasi
Mekanisme Terjadinya Komplikasi Kronik Diabetes Melitus
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan
baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik,
baik mikroangiopati maupun rnakroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga
kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik
diabetes melitus. Kelainan dasar tersebut sudah dibuktikan terjadi pada para
penyandang diabetes melitus maupun juga pada berbagai binatang percobaan.
perubahan dasar/disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh
darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya
menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel, yang,
kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular
diabetes. Pada retinopati diabetik proliferatif, didapatkan hilangnya sel
perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Di samping itu juga terjadi
hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penyumbatan kapiler.
Semua kelainan tersebut akan rneyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus
iskemik dan hipoksia lokal. Sel retina kemudian merespons dengan meningkatnya
ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothelial Growth
Factor=VEGF) dan selanjutnya memacu terjadinya neovaskularisasi pembuluh
darah. Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan
disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya
penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua
itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan
selanjutnya yang mengarah ke terjadinya glomerulosklerosis.
Patogenesis terjadinya kelainan vaskular
pada diabetes melitus meliputi terjadinya inbalans metabolik maupun hormonal.
Perturnbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial keduanya
distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespons terhadap
berbagai susbtansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin 2. Di pihak lain
adanya hiperinsulinemia seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pun juga
pemberian insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan
menambah perubahan yang terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos
pembuluh darah maupun pada sel mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun
faktor metabolik berperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskular
diabetes.
Jaringan kardiovaskular, demikian juga
jaringan lain yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik diabetes
(jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa)
mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam
sel tanpa harus memerlukan insulin (insulin independent), agar dengan
demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup
pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut dipakai untuk energi di otot maupun
untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan
hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistem
transportasi glukosa yang non-insulin dependen ini, sehingga sel akan
kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia.
Hiperglisolia
kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian
berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik
diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase
aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan
terbentuknya species glikosilasi lanjut intraselular.
Cara
Diagnosis Dini
Mencegah jauh lebih baik dari mengobati.
Pemeo ini juga sangat tepat untuk diterapkan pada komplikasi kronik DM. Biaya
yang diperlukan akan sangat membengkak sekiranya sudah terjadi komplikasi
kronik DM. Oleh karena itu mengenal berbagai faktor risiko terjadinya
komplikasi vaskular kronik DM dan kemudian usaha menegakkan diagnosis dini
menjadi sangat penting maknanya.
Retinopati
Berbagai
kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik
non-proliferatif sampai pendarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan
lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati dapat
diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin.
Pada praktik pengeloaan DM sehari-hari,
dianjurkan untuk memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan
penyandang DM dan kemudian setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan
sesuai dengan keadaanfkelainan retinanya.
Ada
beberapa cara untuk memeriksa retina:
·
Cara Langsung dengan
memanfaatkan oftalmoskop standard
·
Oftalmoskopi Indirek
dengan slit lamp bio-microscope
·
Fotografi Retina (cara
penjaringan yang paling dianjurkan)
·
Kelainan yang ada pada
retina sangat bervariasi. Beberapa keadaaan memerlukan rujukan pada ahli
penyakit mata.
·
Rujukan harus sesegera
mungkin: retinopati proliveratif, rubeosis iridis/glaukoma neovaskular,
perdarahan vitreous, retinopati lanjut
·
Rujukan sedini mungkin:
Perubahan-perubahan pre-proliveratif, Makulopati, Menurunnya tajam penglihatan
lebih dari 2 baris pada kartu Snellen
·
Rujukan Rutin: katarak,
retinopati diabetik non proliferatif yang tidak mengancam makula/ fovea
Nefropati
Kelainan yang terjadi pada ginjal
penyandang DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang
menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju
filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan
pengelolan dengan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari
mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan
dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya
mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang beberapa kali
untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Beberapa keadaan dapat memberikan
basil positif palsu, seperti misalnya latihan jasmani, infeksi saluran kemih,
hematuria, minum berlebihan, cara penampungan yang tidak tepat dan juga semen.
Ditemukannya
mikroalbuminuria mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang
lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor risiko lain untuk
terjadinya komplikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan
serta merokok. Penyandang DM dengan mikroalbuminuria seyogyanya dikelola oleh
dokter yang berpengalaman dan mumpuni dalam memodifikasi berbagai faktor risiko
terkait terjadinya komplikasi kronik DM. Penyandang DM dengan laju filtrasi
glomerulus atau bersihan kreatinin < 30 mL/ menit seyogyanya sudah dirujuk
ke ahli penyakit ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan untuk persiapan
Penyakit
Jantung Koroner
Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya
penyakit pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang
mempunyai risiko tinggi terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang
mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner atau pun riwayat
keluarga DM yang kuat. Jika ada kecurigaan seperti misalnya ketidak-nyamanan
pada daerah dada, harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan penjaring yang
teliti untuk mencari dan menangkap kemungkinan adanya penyakit pembuluh darah
koroner, paling sedikit dengan pemeriksaan EKG saat istirahat, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan EKG dengan beban, serta sarana konfirmasi
diagnosis lain untuk deteksi dini CAD. Pada penyandang DM, rasa nyeri mungkin
tidak nyata akibat adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada penyandang
DM.
Penyakit
Pembuluh Darah Perifer
Mengenali dan mengelola berbagai faktor
risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang
paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki diabetes. Adanya
perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, d1l.), neurupati dan adanya
penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang harus selalu dicari dan
diperhatikan pada praktik pengelolaan DM sehari-hari. Penyuluhan pada para
penyandang DM mengenai diabetes melitus pada umumnya serta perawatan kaki pada
khususnya harus digalakkan. Memberdayakan penyandang diabetes agar dapat
mandiri mencegah dan mengelola berbagai hal sederhana terkait terbentuknya
ulkus kaki diabetes maupun berbagai komplikasi kronik DM lain merupakan hal
yang sangat penting untuk dilewatkan begitu saja. Penggunaan monofilamen Semmes
Weinstein yang sangat mudah dan sangat sederhana perlu digalakkan untuk
mendeteksi insensitivitas pada kaki yang potensial rentan untuk menyebabkan
terjadinya masalah kaki diabetes dan ulkus diabetes. Demikian juga pengukuran
rutin indeks ankle-brachial merupakan hal yang harus dilakukan pada
setiap pengunjung poliklinik DM.
Pendekatan
multidisipliner dengan mengaktifkan tim multidisiplin pengelola kaki sangat
penting dikembangkan di setiap sarana pengelola DM. Setiap penyandang DM
seyogyanya mendapatkan pencerahan dan kemudahan untuk mendapat layanan tim
multidiscipline tersebut. Pemeriksaan kaki lengkap berkala setiap tahun
merupakan hal yang perlu dikerjakan untuk mencegah terjadinya kaki
diabetes/ulkus/ganggren diabetes yang merupakan salah satu komplikasi kronik DM
amupun para pengelola DM.
Cara Khusus Pencegahan Dan Pengelolaan Berbagai Komplikasi
Kronik DM
Di samping usaha pencegahan primer
komplikasi kronik DM secara umum seperti yang sudah dikemukakan di atas,
berbagai usaha khusus dapat dikerjakan untuk rnasing-masing komplikasi kronik
DM, baik berupa pencegahan primer komplikasi kronik maupun usaha memperlambat
progresi komplikasi kronik yang sudah terjadi.
Retinopati
Pengobatan koagulasi dengan sinar laser
terbukti dapat bermanfaat mencegah perburukan retina lebih lanjut yang kemudian
mungkin akan mengancam mata. Fotokoagulasi dapat dikerjakan secara pan-retinal.
Tindakan lain yang mungkin dilakukan adalah vitrektomi dengan berbagai macam
cara. Demikian pula tindakan operatif lain seperti perbaikan ablasio retinanya
dapat dilakukan untuk menolong mencegah perburukan fungsi mata.
Nefropati
Setelah berbagai cara pencegahan
konservatif tidak berhasil menghambat laju perburukan filtrasi glomerular, dan
kemudian sudah mencapai tahap gagal ginjal-penyakit ginjal tahap terminal,
dapat dilakukan pengelolaan pengganti untuk membantu fungsi ginjal, baik berupa
hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Di samping kedua modalitas tersebut di
atas, transplantasi ginjal merupakan pilihan lain terapi pengganti fungsi
ginjal yang dapat dilakukan pada penyandang DM dengan gagal ginjal.
Penyakit
Pembuluh Darah Koroner
Pengelolaan konservatif untuk penyakit
pembuluh darah koroner dapat diberikan kepada penyandang DM. Berbagai obat
tersedia untuk keperluan ini. Saat ini banyak cara baik semi-invasif maupun
invasif yang dapat dipakai untuk menolong penyandang DM dengan penyakit
pembuluh darah koroner. Tindakan melebarkan pembuluh darah koroner secara
peniupan dengan baton dan pemasangan gorong-gorong (scent) merupakan cara yang
banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi pembuluh darah koronerjantung.
Beberapa kasus lain memerlukan tindakan operatif bedah pintas koroner untuk
memperbaiki fungsi jantungnya.
Penyakit
Pembuluh Darah Perifer
Usaha
mencegah terjadinya ulkus dan gangren kaki diabetik sering gagal dan penyandang
DM jatuh ke keadaan terjadinya ulkus bahkan kemudian disertai gangrene yang
dapat merenggut nyawa. Usaha untuk menyelamatkan kaki dengan
mengoptimalisasikan pengelolaan kaki menjadi sangat penting untuk dikerjakan.
Pada pengelolaan ulkus/ganggren kaki diabetic harus selalu diperhatikan bahwa
berbagai aspek pengelolaan harus dicermati dengan baik: kendali metabolik,
kendali infeksi, kendali vaskular, keharusan untuk mengistirahatkan kaki untuk
tidak mendapat beban, penyuluhan agar penyandang DM dengan ulkus dan gangren DM
dapat bekerja sama mencapai tujuan untuk menyelamatkan kaki, semua harus
dikerjakan secara menyeluruh.
Pendekatan pengelolaan dengan
memanfaatkan kerja sama tim akan sangat membantu tercapainya keberhasilan usaha
penyelamatan kaki diabetes ini.
Neuropati
Adanya keluhan dan kemudian
ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik mengharuskan kita untuk berusaha
mengendalikan konsentrasi glukosa darah sebaik mungkin. Pengelolaan keluhan
neuropati umumnya bersifat simtomatik, dan sering pula hasilnya kurang
memuaskan. Pada keadaan neuropati perifer yang disertai rasa sakit, berbagai
usaha untuk pencegahan dan pengelolaan DM Berta berbagai faktor risikonya harus
jugs dikerjakan. Berbagai obat simtomatik untuk nyerinya dapat pula diberikan,
namun umumnya tidak banyak menjanjikan hasil yang baik. Saat ini didapatkan
berbagai sarana yang dapat diberikan untuk mengatasi keluhan rasa nyeri yang
hebat pada penyandang neuropati DM dengan nyeri ini. Berbagai obat untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan, Demikian pula obat berupa obat gosok
seperti krim Capsaicin (Capzacin) dapat dipakai pada penyandang DM dengan
neuropati yang menyakitkan.
Dengan
adanya pengetahuan baru mengenai terjadinya komplikasi kronik DM, dan berbagai
cara baru untuk mendeteksi dan kemudian mengelola komplikasi kronik DM dapat
dimungkinkan keberhasilan usaha untuk mencegah, memperbaiki, atau paling
sedikit mengurangi berbagai akibat komplikasi kronik DM ini. Nasib penyandang
DM diharapkan akan lebih cerah.
H. Terapi
Prinsip Pengobatan DM
1. Diet
2. Penyuluhan
3. Exercise
(latihan fisik/olah raga)
4. Obat:
Oral hipoglikemik, insulin
5. Cangkok
pankreas
Tujuan Pengobatan
· Mencegah
komplikasi akut dan kronik.
· Meningkatkan
kualitas hidup, dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol,
sehingga sama dengan orang normal.
· Pada
ibu hamil dengan DM, mencegah komplikasi selama hamil, persalinan, dan komplikasi
pada bayi.
Prinsip Diet
· Tentukan
kalori basal dengan menimbang berat badan.
·
Tentukan penggolongan pasien:
underweight (berat badan kurang), normal, overweight (berat badan
berlebih), atau obesitas (kegemukan).
Persentase
= BB (kg)/(TinggiBadan (cm) – 100) X 100%
ü Underweight:
< 90%
ü Normal:
90–110%
ü Overweight:
110–130%
ü Obesitas:
> 130%
· Jenis
kegiatan sehari-hari: ringan, sedang, berat, akan menentukan jumlah kalori yang
ditambahkan. Juga umur dan jenis kelamin.
· Status
gizi
· Penyakit
penyerta
· Serat
larut dan kurangi garam
· Kenali
jenis makanan
Penyuluhan terpadu untuk penderita DM dan lingkungannya:
· Penyuluhan
dari Dokter, Perawat dan ahli gizi – di beberapa RS sudah ada Klinik Diabetes Terpadu.
· Sasaran:
Penderita, keluarga penderita, lingkungan sosial penderita.
Obat DM
· Meningkatkan
jumlah insulin
ü
Sulfonilurea (glipizide GITS, glibenclamide, dsb): Dosis
2,5- 5 mg/hari sebelum makan pagi atau siang.
ü Meglitinide
(repaglinide, nateglinide)
ü Insulin
injeksi
· Meningkatkan
sensitivitas insulin
ü Biguanid/metformin:
Dosis 3x 500 mg/Tab.
ü Thiazolidinedione
(pioglitazone, rosiglitazone): Dosis 1x /hari 15-30 mg. Bisa
dikombinasikan dengan metformin.
· Memengaruhi
penyerapan makanan
ü Acarbose: dosis awal
50 mg/hari. Ditingkatkan sampai 50 mg 3x sehari.
·
Kombinasi : Metformin dan Glibenklamid
(Glukovance) dosis 3x 250 mg/hari
· Hati-hati
risiko hipoglikemia berikan glukosa oral (minuman manis atau permen)
Sasaran pengontrolan gula darah:
· Kadar
gula darah sebelum makan 80-120mg/dl
· Kadar
gula darah 2 jam sesudah makan < 140 mg/dl
· Kadar
HbA1c < 7%
Penanganan Diabetes pada Kehamilan:
Kehamilan harus diawasi
secara teliti sejak dini untuk mencegah komplikasi pada ibu dan janin. Tujuan utama
pengobatan DM dengan hamil:
1. Mencegah
timbulnya ketosis dan hipoglikemia.
2. Mencegah
hiperglikemia dan glukosuria seminimal mungkin.
3. Mencapai
usia kehamilan seoptimal mungkin.
Biasanya kebanyakan
penderita diabetes atau DM gestasional yang ringan dapat di atasi dengan pengaturan
jumlah dan jenis makanan, pemberian anti diabetik secara oral, dan mengawasi kehamilan
secara teratur.
Karena 15-20%
dari pasien akan menderita kekurangan daya pengaturan glukosa dalam masa kehamilan,
maka kelompok ini harus cepat-cepat diidentifikasi dan diberikan terapi
insulin. Bila kadar plasma glukosa sewaktu puasa 105 mg/ml atau kadar glukosa setelah
dua jam postprandial 120 mg/ml pada dua pemeriksaan atau lebih, dalam tempo 2
(dua) minggu, maka dianjurkan agar penderita diberikan terapi insulin. Obat DM oral
kontraindikasi. Penentuan dosis insulin bergantung pada: BB ibu, aktivitas,
KGD, komplikasi yang ada.
Prinsip: dimulai dengan dosis kecil
reguler insulin 3 kali sehari, dosis dinaikkan bertahap sesuai respons penderita.
Penyuntikan Insulin
1. Kenali
jenis insulin yang ada, kandungan /ml (unit/ml).
2. Kenali
jenis spuit insulin yang tersedia: 40 u/ml, 100 u/ml, 50u/0,5 ml.
3. Suntikan
diberikan subkutan di deltoid, paha bagian luar, perut, sekitar pusat.
4. Tempat
suntikan sebaiknya diganti-ganti.
5. Suntikan
diberikan secara tegak lurus.
6. Pasien
segera diberi makan setelah suntikan diberikan. Paling lama setengah jam
setelah suntikandiberikan.
7. Kalau
pasien suntik sendiri, harus dapat melihat dengan jelas angka pada alat suntik.
8. Saat
ini ada alat suntik bentuk pena dengan kontrol dosis yang lebih mudah dan lebih
tepat, dan mudah dibawa-bawa.
I.
Pencegahan
Upaya
pencegahan penyakit diabetes mellitus dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Pencegahan Primer
Cara ini adalah cara yang paling sulit karena
sasarannya orang sehat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah agar DM
tidak terjadi pada orang atau populasi yang rentan (risiko tinggi), yang
dilakukan sebelum timbul tanda-tanda klinis dengan cara:
·
Makan seimbang artinya yang dimakan
dan yang dikeluarkan seimbang disesuiakan dengan aktifitas fisik dan kondisi
tubuh, dengan menghindari makanan yang mengandung tinggi lemak karena bisa
menyebabkan penyusutan konsumsi energi. Mengkonsusmsi makanan dengan kandungan
karbohidrat yang berserat tinggi dan bukan olahan.
·
Meningkatkan kegiatan olah raga yang
berpengaruh pada sensitifitas insulin dan menjaga berat badan agar tetap ideal.
·
Kerjasama dan tanggung jawab antara
instansi kesehatan, masyarakat, swasta dan pemerintah, untuk melakukan
penyuluhan kepada masyarakat.
b. Pencegahan Sekunder
·
Ditujukan pada pendeteksian dini DM
serta penanganan segera dan efektif, sehingga komplikasi dapat dicegah.
·
Hal ini dapat dilakukan dengan
skrining, untuk menemukan penderita sedini mungkin terutama individu/populasi.
·
Kalaupun ada komplikasi masih
reversible / kembali seperti semula.
·
Penyuluhan kesehatan secara
profesional dengan memberikan materi penyuluhan seperti: apakah itu DM,
bagaimana penatalaksanaan DM, obat-obatan untuk mengontrol glukosa darah,
perencanaan makan, dan olah raga.
c. Pencegahan Tersier
·
Upaya dilakukan untuk semua
penderita DM untuk mencegah komplikasi.
·
Mencegah progresi dari komplikasi
supaya tidak terjadi kegagalan organ.
·
Mencegah kecacatan akibat komplikasi
yang ditimbulkan.
Strategi
yang bisa dilakukan untuk pencegahan DM adalah:
a. Population/Community
Approach (Pendekatan Komunitas)
Mendidik masyarakat menjalankan gaya hidup sehat
dengan cara:
·
Mengendalikan berat badan, glukosa
darah, lipid, tekanan darah, asam urat.
·
Menghindari gaya hidup berisiko.
·
Kerjasama dengan semua lapisan
masyarakat.
b. Individual
High Risk Approach (Pendekatan Individu)
·
Umur > 40th
·
Obesitas
·
Hipertensi
·
Riwayat keluarga / keturunan
·
Dislipidemia / timbunan lemak dalam
darah yang berlebihan
·
Riwayat melahirkan > 4 kg
·
Riwayat DM pada saat kehamilan
J.
Prognosis
Kesehatan penderita
usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10 tahun, oleh karen aitu harus
diterapi secara agresif seperti pada penderita usia muda untuk menurunkan
resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup penderita lebih pendek,
tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala, mencegah komplikasi akut, yang
mana terutama terjadi pada penderita lanjut usia.
Referensi :
1.
Anonim. Apa itu Diabetes [Online]. 2007 Oct 1
[cited 2012 Jan 30]; [1 screen].
Available from:
2.
Admin. Definisi Diabetes
Melitus [Online]. 12
Apr 2011 [cited 2012 Jan 30]; [1 screen].
Available from:
3.
Aradea. Patofisiologi diabetes mellitus. [Online]. 2011 April
25 [cited 2012 Jan 30]; [4 screens]
Available from:
Available from:
Available from:
6.
Admin. Gestational diabetes mellitus. [Online]. 2011 April 09
[cited 2012 Jan 30]; [2 screens]
Available
from:
7.
Price
SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 6. Vol.
2. Jakarta: EGC; 2005.
8.
Anonim. Tahun 2030
Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang. [Online]. 2009 November 06
[cited 2012 March 10]; [1 screen]
Available
from:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar