Jumat, 24 April 2015

Diabetes Melitus


DIABETES MELLITUS (DM)
A.      Definisi dan Etiologi
Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia. Berasal dari istilah kata Yunani, Diabetes yang berarti pancuran dan Melitus yang berarti madu atau gula.Kurang lebih istilah Diabetes Melitus menggambarkan gejala diabetes yang tidak terkontrol, yakni banyak keluar air seni yang manis karena mengandung gula. Oleh karena demikian, dalam istilah lain penyakit ini disebut juga “Kencing Manis”.
Secara definisi medis, definisi diabetes meluas kepada suatu kumpulan aspek gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik yang sifatnya absolut maupun relatif.
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit atau gangguan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah. Tingginya kadar gula karena kurang maksimalnya pemanfaatan gula oleh tubuh sebagai sumber energy karena kurangnya hormon insulin yang diproduksi oleh pancreas atau tidak berfungsinya hormon insulin dalam menyerap gula secara maksimal oleh sebab itu penyakit ini juga biasa disebut atau didefinisikan sebagai penyakit gula darah.
B.       Epidemiologi
Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan adalah 5,7%. Prevalensi nasional Obesitas umum pada penduduk usia >= 15 tahun sebesar 10.3% dan sebanyak 12 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional Obesitas sentral pada penduduk Usia >= 15 tahun sebesar 18,8 %  dan sebanyak 17 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional. Sedangkan prevalensi TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) pada penduduk usia >15 tahun di perkotaan adalah 10.2% dan sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional. Prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%. Disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% dan prevalensi minum beralkohol dalam satu bulan terakhir adalah 4,6%.
Diabetes Melitus terdiri dari dua tipe yaitu tipe pertama DM yang disebabkan keturunan dan tipe kedua disebabkan life style atau gaya hidup. Secara umum, hampir 80 % prevalensi diabetes melitus adalah DM tipe 2. Ini berarti gaya hidup/life style yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi DM. Bila dicermati, penduduk dengan obes mempunyai risiko terkena DM lebih besar dari penduduk yang tidak obes.
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
C.      Faktor Resiko
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi:
1.    Ras dan etnik
2.    Riwayat keluarga dengan diabetes
3.    Umur
Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
4.    Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
5.    Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi:
1.    Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
2.    Kurangnya aktivitas fisik.
3.    Hipertensi (> 140/90 mmHg).
4.    Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL) v Diet tak sehat (unhealthy diet).
5.    Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe-2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes:
1.    Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
2.    Penderita sindrom metabolik
Memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK,PAD (Peripheral Arterial Diseases).
D.      Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi  insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat hilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poluria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untukmengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama tidak sekali memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat bedasarkan pemeriksaan darah di labolatorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensiinsulin secara absolut namun hanya secara relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukannya insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasamya memperlihatkan kehilangan sentivisitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadaiuntuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.    
 
E.       Patogenesis
Patofisiologi diabetes mellitus dalam segala bentuk terkait dengan hormon insulin. Insulin disekresikan oleh sel-sel di pankreas dan bertanggung jawab untuk mengatur tingkat glukosa dalam aliran darah. Hal ini juga membantu tubuh dalam mengurai glukosa yang akan digunakan sebagai energi. Ketika seseorang menderita diabetes, bagaimanapun, tubuh tidak memecah glukosa dalam darah sebagai akibat dari metabolisme insulin abnormal. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah, yang dikenal sebagai hiperglikemia. Ketika kadar glukosa tetap tinggi selama periode waktu yang panjang, komplikasi yang berat termasuk penyakit kardiovaskuler, kerusakan ginjal, gangguan mata, dan masalah saraf dapat terjadi. Diabetes mellitus terjadi dalam tiga bentuk yang berbeda – tipe 1, tipe 2, dan kehamilan. 

Patogenesis DM tipe 1
Tipe 1 diabetes mellitus (DM) adalah gangguan di mana insulin katabolik beredar sangat rendah atau tidak ada, glukagon plasma yang ditinggikan, dan sel-sel beta pankreas gagal untuk menanggapi semua rangsangan sekresi insulin. Pankreas menunjukkan infiltrasi limfositik dan perusakan mensekresi insulin sel-sel pulau Langerhans, yang menyebabkan kekurangan insulin. Pasien membutuhkan insulin eksogen untuk membalikkan kondisi katabolik, mencegah ketosis, penurunan hyperglucagonemia, dan menormalkan lemak dan metabolisme protein.
Satu teori tentang etiologi DM tipe 1 adalah bahwa hasil dari kerusakan sel beta pankreas dari agen infeksi atau lingkungan. Dalam individu yang secara genetik rentan, sistem kekebalan tubuh sehingga dipicu untuk mengembangkan respon autoimun terhadap antigen diubah beta pankreas sel atau molekul dalam sel-sel beta yang menyerupai protein virus. Sekitar 85% pasien DM tipe 1 memiliki sirkulasi antibodi sel islet, dan mayoritas juga memiliki anti-insulin terdeteksi antibodi sebelum menerima terapi insulin. Antibodi sel islet Kebanyakan diarahkan terhadap asam glutamat dekarboksilase (GAD) dalam sel beta pankreas.
Sebuah studi oleh Philippe dkk digunakan CT temuan scan, hasil tes stimulasi glukagon, dan tinja elastase-1 pengukuran untuk mengkonfirmasi Volume pankreas berkurang pada individu dengan diabetes mellitus. Ini juga bisa menjelaskan disfungsi eksokrin terkait.
Saat ini, autoimunitas dianggap sebagai faktor utama dalam patofisiologi DM tipe 1. Prevalensi meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lainnya, seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, dan penyakit Addison. Prevalensi diabetes tipe 1 autoantibodi dan baru didiagnosa diabetes tipe 1 lebih tinggi pada pasien dengan tiroiditis autoimun. 
Sekitar 95% pasien dengan DM tipe 1 memiliki antigen leukosit baik manusia (HLA)-DR3 atau HLA-DR4. HLA-DQS dianggap penanda spesifik tipe 1 DM kerentanan.
Metabolisme asam amino juga memainkan peran kunci dalam patogenesis diabetes. Profil asam amino yang bisa membantu menilai risiko diabetes. Ini mungkin membantu menjelaskan lebih lanjut bagaimana diabetes berkembang.
Bukti terbaru menunjukkan peran vitamin D dalam patogenesis dan pencegahan diabetes mellitus. Kekurangan vitamin D juga merupakan prediktor independen penting dari pengembangan kalsifikasi arteri koroner pada individu dengan DM tipe 1. Joergensen dkk ditentukan bahwa kekurangan vitamin D pada diabetes tipe 1 dapat memprediksi semua penyebab kematian tapi tidak perkembangan komplikasi mikrovaskular. Kontribusi defisiensi vitamin D terhadap kematian harus dimediasi oleh mekanisme nonvascular.
Namun, sebuah studi oleh Simpson et al menemukan bahwa baik Asupan vitamin D atau 25 hidroksivitamin D tingkat sepanjang masa dikaitkan dengan otoimun pulau atau perkembangan diabetes tipe 1.

Patogensis DM tipe 2
Diabetes tipe 2 dicirikan oleh kombinasi dari resistensi insulin perifer dan sekresi insulin tidak memadai oleh sel beta pankreas. Resistensi insulin, yang telah dikaitkan dengan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma, menyebabkan penurunan transportasi glukosa ke dalam sel otot, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan peningkatan pemecahan lemak.
Untuk diabetes mellitus tipe 2 terjadi, baik cacat harus ada. Sebagai contoh, semua orang dengan obesitas mempunyai resistensi insulin, tetapi diabetes berkembang hanya pada mereka yang tidak dapat meningkatkan sekresi insulin cukup untuk mengimbangi resistensi insulin mereka. Konsentrasi insulin mereka mungkin tinggi, namun tidak tepat rendah untuk tingkat glikemia.
Disfungsi sel beta adalah faktor utama di seluruh spektrum pra-diabetes untuk diabetes. Sebuah studi dari remaja obesitas oleh Bacha dkk menegaskan apa yang semakin menjadi stres pada orang dewasa juga:. Fungsi sel beta yang terjadi pada awal proses patologis dan tidak selalu mengikuti tahap resistensi insulin Singular fokus pada resistensi insulin sebagai " menjadi semua dan mengakhiri semua "secara bertahap berubah, dan pilihan pengobatan yang lebih baik mudah-mudahan yang fokus pada sel beta patologi akan muncul untuk mengobati gangguan awal.
Dalam perkembangan dari toleransi glukosa normal toleransi glukosa abnormal, kadar glukosa darah postprandial kenaikan pertama, akhirnya, hiperglikemi puasa berkembang sebagai penindasan glukoneogenesis hepatik gagal.
Sebuah skema yang disederhanakan untuk patofisiologi metabolisme glukosa abnormal pada diabetes melitus tipe 2 digambarkan pada gambar di bawah.

Skema sederhana untuk patofisiologi diabetes mellitus tipe 2.
 Selama induksi resistensi insulin, seperti yang terlihat setelah tinggi kalori, administrasi steroid, atau aktivitas fisik, kadar glukagon meningkat dan peningkatan glukosa yang tergantung insulinotropic polipeptida (GIP) tingkat menemani intoleransi glukosa, namun, postprandial glucagonlike peptida-1 ( GLP-1) respon berubah. Hal ini memiliki implikasi fisiologis, misalnya, jika GLP-1 tingkat tidak berubah, GLP-1 dapat menjadi sasaran terapi di negara-negara yang disebutkan di atas.
Tingginya mobilitas kelompok A1 (HMGA1) protein regulator kunci dari gen reseptor insulin (INSR). Fungsional varian dari gen HMGA1 berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes. Varian ini ditunjukkan untuk menyebabkan penurunan kadar protein baik HMGA1 dan INSR.
Meskipun patofisiologi penyakit berbeda antara jenis diabetes, sebagian besar komplikasi, termasuk mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik, mirip terlepas dari jenis diabetes.
Hiperglikemia tampaknya menjadi penentu komplikasi mikrovaskuler dan metabolik. Penyakit makrovaskuler, bagaimanapun, adalah jauh lebih sedikit berhubungan dengan glikemia. Resistensi insulin bersamaan dengan abnormalitas lipid (yaitu, peningkatan kadar kolesterol kecil padat low-density lipoprotein [LDL-C] partikel, rendahnya tingkat kolesterol high-density lipoprotein [HDL-C], peningkatan kadar trigliserida yang kaya lipoprotein sisa-sisa) dan kelainan trombotik (yaitu, tipe-1 meningkat plasminogen activator inhibitor [PAI-1], fibrinogen meningkat), serta faktor-faktor risiko konvensional aterosklerotik (misalnya, sejarah keluarga, merokok, hipertensi, peningkatan LDL-C, rendah HDL-C), menentukan risiko kardiovaskular. Tidak seperti hati dan otot polos, resistensi insulin tidak berhubungan dengan akumulasi lipid meningkat miokard. Kelainan lipid tetap persisten pada pasien dengan diabetes meskipun bukti-bukti yang mendukung manfaat lipid-memodifikasi obat. Dosis statin up-titrasi dan penambahan lainnya lipid-memodifikasi agentsareneeded.
Peningkatan risiko kardiovaskular muncul untuk memulai sebelum perkembangan hiperglikemia terang, mungkin karena efek resistensi insulin. Stern pada tahun 1996 dan Haffner dan D'Agostino pada tahun 1999  mengembangkan "jam berdetik" hipotesis komplikasi, menyatakan bahwa jam mulai berdetak untuk risiko mikrovaskuler pada awal hiperglikemia, saat jam mulai berdetak untuk risiko makrovaskular di beberapa titik anteseden, mungkin dengan timbulnya resistensi insulin.
Berbagai jenis lain diabetes, sebelumnya disebut diabetes sekunder, disebabkan oleh penyakit lain atau obat. Tergantung pada proses primer yang terlibat (misalnya, kerusakan sel beta pankreas atau pengembangan resistensi insulin perifer), jenis diabetes berperilaku sama tipe 1 atau diabetes tipe 2. Yang paling umum adalah penyakit pankreas yang menghancurkan sel beta pankreas (misalnya, hemochromatosis, pankreatitis, cystic fibrosis, kanker pankreas), sindrom hormon yang mengganggu sekresi insulin (misalnya, pheochromocytoma) atau menyebabkan resistensi insulin perifer (misalnya, akromegali, Cushing sindrom, pheochromocytoma), dan diabetes yang diinduksi oleh obat (misalnya, fenitoin, glukokortikoid, estrogen).
Sebuah studi oleh Philippe dkk digunakan CT temuan scan, hasil tes stimulasi glukagon, dan tinja elastase-1 pengukuran untuk mengkonfirmasi Volume pankreas berkurang pada individu dengan diabetes melitus. Hal ini juga dapat menjelaskan disfungsi eksokrin terkait.
Diabetes mellitus gestasional (GDM) didefinisikan sebagai setiap tingkat intoleransi glukosa dengan onset atau pengakuan pertama selama kehamilan. Diabetes mellitus gestasional merupakan komplikasi dari sekitar 4% dari seluruh kehamilan di Amerika Serikat.
Diabetes mellitus gestasional yang tidak diobati dapat menyebabkan makrosomia janin, hipoglikemia, hipokalsemia, dan hiperbilirubinemia. Selain itu, ibu dengan diabetes mellitus gestasional memiliki tingkat kelahiran sesar dan hipertensi kronis.
Meski usia lanjut, multiparitas, obesitas, dan merugikan sosial, pasien dengan diabetes tipe 2 ditemukan memiliki kontrol glikemik yang lebih baik, lebih sedikit besar untuk bayi usia kehamilan, kelahiran prematur lebih sedikit, dan penerimaan perawatan neonatal lebih sedikit dibandingkan dengan pasien dengan diabetes tipe 1. Hal ini menunjukkan bahwa alat yang lebih baik diperlukan untuk meningkatkan kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes tipe 1.

Patogenesis DM tipe kehamilan (gestational)
Gestational diabetes mellitus (GDM) diakibatkan oleh kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, seperti Tipe 2 di beberapa kesaksian. Biasanya terjadi selama kehamilan dan dapat sembuh setelah melahirkan. Diabetes gestasional meliputi gestational impaired glucose tolerance (GIGT) dan gestational diabetes mellitus (GDM) dan berdasarkan tahap klinis tanpa mempertimbangkan patogenesis dapat dibedakan menjadi 3 antara lain :
1.        Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
2.        Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari luar tubuh.
3.        Not insulin requiring diabetes
Meskipun bersifat temporer namun Gestational diabetes mellituskemungkinan dapat merusak kesehatan janin karena efeknya berhubungan dengan jantung, organ pernafasan yang dapat menimbulkan kecacatan pada bayi ketika dilahirkan selain itu tentunya sangat mengganggu kesehatan ibu hamil. Hanya sekitar 20–50% dari wanita penderita  diabetes melitus tipe ini dapat bertahan hidup untuk itu bagi ibu hamil yang menderita tipe diabet ini sangat memerlukan pengawasan secara medis sepanjang kehamilan dan sebagai pencegahan anda perlu mengetahui gejala diabetes dan hal hala apa saja yang menjadi penyebab diabetes melitus dan usahakan agar selalu memeriksa kadar gula secara berkala.
F.       Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah  pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya.
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM
Belum pasti  DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena
< 110
110 – 199
³ 200
Darah kapiler
<   90
90  - 199
³ 200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena
< 110
110 – 125
³ 126
Darah  kapiler  
<   90
90  - 109
³ 110
Langkah-langkah untuk  menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.  Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk  menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)
·           3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
·           Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
·           Puasa semalam, selama 10-12 jam
·           Kadar glukosa darah puasa diperiksa
·           Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
·           Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*
·           Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl  , atau
·           Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ³ 126 mg/dl (Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir )  atau Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**
Catatan:
*Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.
**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik.
G.      Komplikasi
Mekanisme Terjadinya Komplikasi Kronik Diabetes Melitus
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun rnakroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Kelainan dasar tersebut sudah dibuktikan terjadi pada para penyandang diabetes melitus maupun juga pada berbagai binatang percobaan. perubahan dasar/disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel, yang, kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes. Pada retinopati diabetik proliferatif, didapatkan hilangnya sel perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Di samping itu juga terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan rneyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Sel retina kemudian merespons dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothelial Growth Factor=VEGF) dan selanjutnya memacu terjadinya neovaskularisasi pembuluh darah. Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomeru­lar, dan disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya glomerulosklerosis.
Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi terjadinya inbalans metabolik maupun hormonal. Perturnbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespons terhadap berbagai susbtansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin 2. Di pihak lain adanya hiperinsulinemia seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pun juga pemberian insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun faktor metabolik berperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskular diabetes.
Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik diabetes (jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam sel tanpa harus memerlukan insulin (insulin independent), agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut dipakai untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistem transportasi glukosa yang non-insulin dependen ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia.
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya species glikosilasi lanjut intraselular.
Cara Diagnosis Dini
Mencegah jauh lebih baik dari mengobati. Pemeo ini juga sangat tepat untuk diterapkan pada komplikasi kronik DM. Biaya yang diperlukan akan sangat membengkak sekiranya sudah terjadi komplikasi kronik DM. Oleh karena itu mengenal berbagai faktor risiko terjadinya komplikasi vaskular kronik DM dan kemudian usaha menegakkan diagnosis dini menjadi sangat penting maknanya.
Retinopati
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai pendarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin.
Pada praktik pengeloaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan keadaanfkelainan retinanya.
Ada beberapa cara untuk memeriksa retina:
·           Cara Langsung dengan memanfaatkan oftalmoskop standard
·           Oftalmoskopi Indirek dengan slit lamp bio-microscope
·           Fotografi Retina (cara penjaringan yang paling dianjurkan)
·           Kelainan yang ada pada retina sangat bervariasi. Beberapa keadaaan memerlukan rujukan pada ahli penyakit mata.
·           Rujukan harus sesegera mungkin: retinopati proliveratif, rubeosis iridis/glaukoma neovaskular, perdarahan vitreous, retinopati lanjut
·           Rujukan sedini mungkin: Perubahan-perubahan pre-proliveratif, Makulopati, Menurunnya tajam penglihatan lebih dari 2 baris pada kartu Snellen
·           Rujukan Rutin: katarak, retinopati diabetik non proliferatif yang tidak mengancam makula/ fovea
Nefropati
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolan dengan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang beberapa kali untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Beberapa keadaan dapat memberikan basil positif palsu, seperti misalnya latihan jasmani, infeksi saluran kemih, hematuria, minum berlebihan, cara penampungan yang tidak tepat dan juga semen.
Ditemukannya mikroalbuminuria mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor risiko lain untuk terjadinya komplikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok. Penyandang DM dengan mikroalbuminuria seyogyanya dikelola oleh dokter yang berpengalaman dan mumpuni dalam memodifikasi berbagai faktor risiko terkait terjadinya komplikasi kronik DM. Penyandang DM dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kreatinin < 30 mL/ menit seyogyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan untuk persiapan
Penyakit Jantung Koroner
Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner atau pun riwayat keluarga DM yang kuat. Jika ada kecurigaan seperti misalnya ketidak-nyamanan pada daerah dada, harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan penjaring yang teliti untuk mencari dan menangkap kemungkinan adanya penyakit pembuluh darah koroner, paling sedikit dengan pemeriksaan EKG saat istirahat, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan EKG dengan beban, serta sarana konfirmasi diagnosis lain untuk deteksi dini CAD. Pada penyandang DM, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada penyandang DM.
Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, d1l.), neurupati dan adanya penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang harus selalu dicari dan diperhatikan pada praktik pengelolaan DM sehari-hari. Penyuluhan pada para penyandang DM mengenai diabetes melitus pada umumnya serta perawatan kaki pada khususnya harus digalakkan. Memberdayakan penyandang diabetes agar dapat mandiri mencegah dan mengelola berbagai hal sederhana terkait terbentuknya ulkus kaki diabetes maupun berbagai komplikasi kronik DM lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilewatkan begitu saja. Penggunaan monofilamen Semmes Weinstein yang sangat mudah dan sangat sederhana perlu digalakkan untuk mendeteksi insensitivitas pada kaki yang potensial rentan untuk menyebabkan terjadinya masalah kaki diabetes dan ulkus diabetes. Demikian juga pengukuran rutin indeks ankle-brachial merupakan hal yang harus dilakukan pada setiap pengunjung poliklinik DM.
Pendekatan multidisipliner dengan mengaktifkan tim multidisiplin pengelola kaki sangat penting dikembang­kan di setiap sarana pengelola DM. Setiap penyandang DM seyogyanya mendapatkan pencerahan dan kemudahan untuk mendapat layanan tim multidiscipline tersebut. Pemeriksaan kaki lengkap berkala setiap tahun merupakan hal yang perlu dikerjakan untuk mencegah terjadinya kaki diabetes/ulkus/ganggren diabetes yang merupakan salah satu komplikasi kronik DM amupun para pengelola DM.
Cara Khusus Pencegahan Dan Pengelolaan Berbagai Komplikasi Kronik DM
Di samping usaha pencegahan primer komplikasi kronik DM secara umum seperti yang sudah dikemukakan di atas, berbagai usaha khusus dapat dikerjakan untuk rnasing-­masing komplikasi kronik DM, baik berupa pencegahan primer komplikasi kronik maupun usaha memperlambat progresi komplikasi kronik yang sudah terjadi.
Retinopati
Pengobatan koagulasi dengan sinar laser terbukti dapat bermanfaat mencegah perburukan retina lebih lanjut yang kemudian mungkin akan mengancam mata. Fotokoagulasi dapat dikerjakan secara pan-retinal. Tindakan lain yang mungkin dilakukan adalah vitrektomi dengan berbagai macam cara. Demikian pula tindakan operatif lain seperti perbaikan ablasio retinanya dapat dilakukan untuk menolong mencegah perburukan fungsi mata.
Nefropati
Setelah berbagai cara pencegahan konservatif tidak berhasil menghambat laju perburukan filtrasi glomerular, dan kemudian sudah mencapai tahap gagal ginjal-penyakit ginjal tahap terminal, dapat dilakukan pengelolaan pengganti untuk membantu fungsi ginjal, baik berupa hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Di samping kedua modalitas tersebut di atas, transplantasi ginjal merupakan pilihan lain terapi pengganti fungsi ginjal yang dapat dilakukan pada penyandang DM dengan gagal ginjal.
Penyakit Pembuluh Darah Koroner
Pengelolaan konservatif untuk penyakit pembuluh darah koroner dapat diberikan kepada penyandang DM. Berbagai obat tersedia untuk keperluan ini. Saat ini banyak cara baik semi-invasif maupun invasif yang dapat dipakai untuk menolong penyandang DM dengan penyakit pembuluh darah koroner. Tindakan melebarkan pembuluh darah koroner secara peniupan dengan baton dan pemasangan gorong-gorong (scent) merupakan cara yang banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi pembuluh darah koronerjantung. Beberapa kasus lain memerlukan tindakan operatif bedah pintas koroner untuk memperbaiki fungsi jantungnya.
Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Usaha mencegah terjadinya ulkus dan gangren kaki diabetik sering gagal dan penyandang DM jatuh ke keadaan terjadinya ulkus bahkan kemudian disertai gangrene yang dapat merenggut nyawa. Usaha untuk menyelamatkan kaki dengan mengoptimalisasikan pengelolaan kaki menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Pada pengelolaan ulkus/ganggren kaki diabetic harus selalu diperhatikan bahwa berbagai aspek pengelolaan harus dicermati dengan baik: kendali metabolik, kendali infeksi, kendali vaskular, keharusan untuk mengistirahatkan kaki untuk tidak mendapat beban, penyuluhan agar penyandang DM dengan ulkus dan gangren DM dapat bekerja sama mencapai tujuan untuk menyelamatkan kaki, semua harus dikerjakan secara menyeluruh.
Pendekatan pengelolaan dengan memanfaatkan kerja sama tim akan sangat membantu tercapainya keberhasilan usaha penyelamatan kaki diabetes ini.
Neuropati
Adanya keluhan dan kemudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik mengharuskan kita untuk berusaha mengendalikan konsentrasi glukosa darah sebaik mungkin. Pengelolaan keluhan neuropati umumnya bersifat simtomatik, dan sering pula hasilnya kurang memuaskan. Pada keadaan neuropati perifer yang disertai rasa sakit, berbagai usaha untuk pencegahan dan pengelolaan DM Berta berbagai faktor risikonya harus jugs dikerjakan. Berbagai obat simtomatik untuk nyerinya dapat pula diberikan, namun umumnya tidak banyak menjanjikan hasil yang baik. Saat ini didapatkan berbagai sarana yang dapat diberikan untuk mengatasi keluhan rasa nyeri yang hebat pada penyandang neuropati DM dengan nyeri ini. Berbagai obat untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan, Demikian pula obat berupa obat gosok seperti krim Capsaicin (Capzacin) dapat dipakai pada penyandang DM dengan neuropati yang menyakitkan.
Dengan adanya pengetahuan baru mengenai terjadinya komplikasi kronik DM, dan berbagai cara baru untuk mendeteksi dan kemudian mengelola komplikasi kronik DM dapat dimungkinkan keberhasilan usaha untuk mencegah, memperbaiki, atau paling sedikit mengurangi berbagai akibat komplikasi kronik DM ini. Nasib penyandang DM diharapkan akan lebih cerah.
H.      Terapi
Prinsip Pengobatan DM
1.    Diet
2.    Penyuluhan
3.    Exercise (latihan fisik/olah raga)
4.    Obat: Oral hipoglikemik, insulin
5.    Cangkok pankreas
Tujuan Pengobatan
·      Mencegah komplikasi akut dan kronik.
·      Meningkatkan kualitas hidup, dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol, sehingga sama dengan orang normal.
·      Pada ibu hamil dengan DM, mencegah komplikasi selama hamil, persalinan, dan komplikasi pada bayi.
Prinsip Diet
·      Tentukan kalori basal dengan menimbang berat badan.
·      Tentukan penggolongan pasien: underweight (berat badan kurang), normal, overweight (berat badan berlebih), atau obesitas (kegemukan).
Persentase = BB (kg)/(TinggiBadan (cm) – 100) X 100%
ü Underweight: < 90%
ü Normal: 90–110%
ü Overweight: 110–130%
ü Obesitas: > 130%
·      Jenis kegiatan sehari-hari: ringan, sedang, berat, akan menentukan jumlah kalori yang ditambahkan. Juga umur dan jenis kelamin.
·      Status gizi
·      Penyakit penyerta
·      Serat larut dan kurangi garam
·      Kenali jenis makanan
Penyuluhan terpadu untuk penderita DM dan lingkungannya:
·      Penyuluhan dari Dokter, Perawat dan ahli gizi – di beberapa RS sudah ada Klinik Diabetes Terpadu.
·      Sasaran: Penderita, keluarga penderita, lingkungan sosial penderita.
Obat DM
·      Meningkatkan jumlah insulin
ü Sulfonilurea (glipizide GITS, glibenclamide, dsb): Dosis 2,5- 5 mg/hari sebelum makan pagi atau siang.
ü Meglitinide (repaglinide, nateglinide)
ü Insulin injeksi
·      Meningkatkan sensitivitas insulin
ü Biguanid/metformin: Dosis 3x 500 mg/Tab.
ü Thiazolidinedione (pioglitazone, rosiglitazone): Dosis 1x /hari 15-30 mg. Bisa dikombinasikan dengan metformin.
·      Memengaruhi penyerapan makanan
ü Acarbose: dosis awal 50 mg/hari. Ditingkatkan sampai 50 mg 3x sehari.
·      Kombinasi : Metformin dan Glibenklamid (Glukovance) dosis 3x 250 mg/hari
·      Hati-hati risiko hipoglikemia berikan glukosa oral (minuman manis atau permen)
Sasaran pengontrolan gula darah:
·      Kadar gula darah sebelum makan 80-120mg/dl
·      Kadar gula darah 2 jam sesudah makan < 140 mg/dl
·      Kadar HbA1c < 7%
Penanganan Diabetes pada Kehamilan:
Kehamilan harus diawasi secara teliti sejak dini untuk mencegah komplikasi pada ibu dan janin. Tujuan utama pengobatan DM dengan hamil:
1.    Mencegah timbulnya ketosis dan hipoglikemia.
2.    Mencegah hiperglikemia dan glukosuria seminimal mungkin.
3.    Mencapai usia kehamilan seoptimal mungkin.
Biasanya kebanyakan penderita diabetes atau DM gestasional yang ringan dapat di atasi dengan pengaturan jumlah dan jenis makanan, pemberian anti diabetik secara oral, dan mengawasi kehamilan secara teratur.
Karena 15-20% dari pasien akan menderita kekurangan daya pengaturan glukosa dalam masa kehamilan, maka kelompok ini harus cepat-cepat diidentifikasi dan diberikan terapi insulin. Bila kadar plasma glukosa sewaktu puasa 105 mg/ml atau kadar glukosa setelah dua jam postprandial 120 mg/ml pada dua pemeriksaan atau lebih, dalam tempo 2 (dua) minggu, maka dianjurkan agar penderita diberikan terapi insulin. Obat DM oral kontraindikasi. Penentuan dosis insulin bergantung pada: BB ibu, aktivitas, KGD, komplikasi yang ada.
Prinsip: dimulai dengan dosis kecil reguler insulin 3 kali sehari, dosis dinaikkan bertahap sesuai respons penderita.
Penyuntikan Insulin
1.    Kenali jenis insulin yang ada, kandungan /ml (unit/ml).
2.    Kenali jenis spuit insulin yang tersedia: 40 u/ml, 100 u/ml, 50u/0,5 ml.
3.    Suntikan diberikan subkutan di deltoid, paha bagian luar, perut, sekitar pusat.
4.    Tempat suntikan sebaiknya diganti-ganti.
5.    Suntikan diberikan secara tegak lurus.
6.    Pasien segera diberi makan setelah suntikan diberikan. Paling lama setengah jam setelah suntikandiberikan.
7.    Kalau pasien suntik sendiri, harus dapat melihat dengan jelas angka pada alat suntik.
8.    Saat ini ada alat suntik bentuk pena dengan kontrol dosis yang lebih mudah dan lebih tepat, dan mudah dibawa-bawa.
I.         Pencegahan
Upaya pencegahan penyakit diabetes mellitus dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.    Pencegahan Primer
Cara ini adalah cara yang paling sulit karena sasarannya orang sehat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah agar DM tidak terjadi pada orang atau populasi yang rentan (risiko tinggi), yang dilakukan sebelum timbul tanda-tanda klinis dengan cara:
·       Makan seimbang artinya yang dimakan dan yang dikeluarkan seimbang disesuiakan dengan aktifitas fisik dan kondisi tubuh, dengan menghindari makanan yang mengandung tinggi lemak karena bisa menyebabkan penyusutan konsumsi energi. Mengkonsusmsi makanan dengan kandungan karbohidrat yang berserat tinggi dan bukan olahan.
·       Meningkatkan kegiatan olah raga yang berpengaruh pada sensitifitas insulin dan menjaga berat badan agar tetap ideal.
·       Kerjasama dan tanggung jawab antara instansi kesehatan, masyarakat, swasta dan pemerintah, untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat.
b.    Pencegahan Sekunder
·       Ditujukan pada pendeteksian dini DM serta penanganan segera dan efektif, sehingga komplikasi dapat dicegah.
·       Hal ini dapat dilakukan dengan skrining, untuk menemukan penderita sedini mungkin terutama individu/populasi.
·       Kalaupun ada komplikasi masih reversible / kembali seperti semula.
·       Penyuluhan kesehatan secara profesional dengan memberikan materi penyuluhan seperti: apakah itu DM, bagaimana penatalaksanaan DM, obat-obatan untuk mengontrol glukosa darah, perencanaan makan, dan olah raga.
c.    Pencegahan Tersier
·       Upaya dilakukan untuk semua penderita DM untuk mencegah komplikasi.
·       Mencegah progresi dari komplikasi supaya tidak terjadi kegagalan organ.
·       Mencegah kecacatan akibat komplikasi yang ditimbulkan.
Strategi yang bisa dilakukan untuk pencegahan DM adalah:
a.    Population/Community Approach (Pendekatan Komunitas)
Mendidik masyarakat menjalankan gaya hidup sehat dengan cara:
·       Mengendalikan berat badan, glukosa darah, lipid, tekanan darah, asam urat.
·       Menghindari gaya hidup berisiko.
·       Kerjasama dengan semua lapisan masyarakat.
b.    Individual High Risk Approach (Pendekatan Individu)
·       Umur > 40th
·       Obesitas
·       Hipertensi
·       Riwayat keluarga / keturunan
·       Dislipidemia / timbunan lemak dalam darah yang berlebihan
·       Riwayat melahirkan > 4 kg
·       Riwayat DM pada saat kehamilan
J.        Prognosis
Kesehatan penderita usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10 tahun, oleh karen aitu harus diterapi secara agresif seperti pada penderita usia muda untuk menurunkan resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup penderita lebih pendek, tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala, mencegah komplikasi akut, yang mana terutama terjadi pada penderita lanjut usia.
Referensi :
1.        Anonim. Apa itu Diabetes [Online]. 2007 Oct 1 [cited 2012 Jan 30]; [1 screen].
       Available from:
2.        Admin. Definisi Diabetes Melitus [Online]. 12 Apr 2011 [cited 2012 Jan 30]; [1 screen].
       Available from:
3.        Aradea. Patofisiologi diabetes mellitus. [Online]. 2011 April 25 [cited 2012 Jan 30]; [4 screens]
       Available from:
4.        Khardori, R. Type 1 Diabetes mellitus. [Online]. 2012 Jan 25 [cited 2012 Jan 30]; [1 screen]
Available from:
5.        Khardori, R. Type 2 Diabetes mellitus. [Online]. 2012 Jan 25 [cited 2012 Jan 30]; [1 screen]
Available from:
6.        Admin. Gestational diabetes mellitus. [Online]. 2011 April 09 [cited 2012 Jan 30]; [2 screens]
Available from:
7.        Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 6. Vol. 2. Jakarta: EGC; 2005.
8.        Anonim. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang. [Online]. 2009 November 06 [cited 2012 March 10]; [1 screen]
Available from:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar