INFARK
MIOCARD
A.
Definisi
Infark miokardium, atau serangan jantung, terjadi ketika salah satu
arteri koroner tersumbat sepenuhnya. Daerah mikardium yang dipasok oleh arteri
koroner kehilangan pasokan darahnya dan mati karena kehilangan oksigen dan
nutrien lain.
Infark Miokard Akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard akibat
iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Kejadian ini berhubungan erat
dengan adanya trombus yang terbentuk akibat rupturnya plak ateroma. Selama
berlangsungnya proses agregasi, platelet melepaskan banyak ADP, tromboksan A2
dan serotonin. Ketiga substansi ini akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
koroner yang aterosklorotik. Apabila keadaan ini mengakibatkan oklusi serius
pada arteri koroner, maka terjadi infark miokard.
B.
Anatomi
Daerah di miokardium yang mengalami infark
bergantung ada arteri koroner yang tersumbat dan luasnya aliran darah
kolateral. Ada 2 sistem pasokan darah utama menuju mioardium, yang satu memasok
sisi kanan jantung dan yang satu lagi memasok sisi kiri jantung.
Arteri koronaria dekstra berjalan diantara atrium
kanan dan ventrikel kanan kemudian melingkari permukaan posterior jantung. Pada
sebagian besar individu ia memberikan cabang desenden yang memasok nodus AV.
Arteri koronaria sinistra bercabang menjadi ramus
intraventrikular anterior dan ramus sirkumfleksus. Ramus intraventrikular anterior
memasok dinding anterior jantung dan sebagian besar sekat intraventrikular.
Ramus sirkumfleksus berjalan diantara atrium kiri dan ventrikel kiri dan
memasok dinding lateral ventrikel kiri.
C. Klasifikasi IMA
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar
EKG 12 sandapan menjadi:
1) Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI)
: oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas
meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi
segmen ST pada EKG.
2) Infark miokard akut non ST-elevasi
(NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh
ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
D.
Etiologi dan Faktor Resiko
Menurut
Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara
lain:
1. Infark miokard
tipe 1
Infark
miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak
aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan
nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut
merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard
tipe 2
Infark
miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan
aliran darah miokard.
3. Infark miokard
tipe 3
Pada
keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini
disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal
sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.
4. a. Infark
miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard
(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous
coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
b. Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5. Infark miokard
tipe 5
Peningkatan
kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard
jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.
Ada
empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu
usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner
meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi
sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah
abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor
psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik.
E.
Patogenesis
Patogenesis infark miokard akut (STEMI dan NonSTEMI) disebabkan karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokard akibat
aterosklerosis atau plak.
1. Proses
terjadinya fissure dan ruptur plak
Oklusi
total atau hamit total sering terjadi secara tiba-tiba ada arteri yang
sebelumnya sudah mengalami stenosis. Plak matur terbentuk dari dua komponen
yaitu inti kaya lipid dan protein matriks ekstraseluler yang membentuk fibrous
cap. Adanya penumpukan lemak yang berlebihan serta infiltrasi sel busa
berhubungan dengan fisssura dan ruptur plak. Sebagian besar lesi ini mengalami
rupture pada tempat yang mengalami stress mekanik paling besar, misalnya pada
daerah plaque cap dengan intima normal sekitarnya atau pada daerah lengkungan
penumpukan lemak.
2. Trombosis
akut dan agregasi platelet
Trombosis
lokal dapat terjadi
setelah ruptur plak. Inti lipid merupakan substrat utama pembentukan thrombus
yang kaya platelet. Otot polos maupun sel busa dalam inti berhubungan dengan
ekspresi tissue factor pada lak yang
tidak stabil. Apabila terjadi kontak dengan darah, tissue factor berinteraksi faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang mengakibatkan terbentuknya thrombin dan penumpukan fibrin lokal.
Beberapa lesi vaskular akut dapat pulih kembali jika fissure dapat diperbaiki
oleh adanya keseimbangan antara thrombosis dan trombolisis.
Adesi platelet terjadi melalui reseptor GP 1b
bersamaan dengan faktor von Willebrand (1). Ini diikuti oleh aktivasi platelet
(2), yang memicu perubahan bentuk dalam platelet, degranulasi dan ekspresi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa pada permukaan platelet dengan aktivasi
reseptor, yang dapat mengikat fibrinogen. Langkah terakhir adalah agregasi
platelet (3), fibrinogen (atau faktor von Willebrand) mengikat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa yang aktif.
Agregasi
platelet dan pelepasan komponen granuler yag dapat meningkatkan perlekatan
platelet, vasokonstriksi, dan pembentukan trombus merupakan respon yang terjadi
akibat ruptur dinding endotel. Reaktan yang dilepaskan pada fase akut
inflamasi, sitokin, infeksi kronis, dan katekolamin dapat menyebabkan
rangsangan sistemik yang dapat meningkatkan produksi tissue factor, aktivitas prokoagulasi, dan hiperagregabilitas
platelet.
3. Vasospasme
arteri koroner
Walaupun
bukan merupakan pathogenesis dasar SKA, vasospasme episodic dapat mengubah plak
arteri koroner yang sebelumnya stabil menjadi tidak stabil yaitu terjadi ruptur intima, penetrasi
makrofag dan agregasi trombosit.
F.
Gejala dan Tanda
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA
sering didahului oleh
serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA
biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan
aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian
nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami
diaforesis.
G.
Diagnosis
Tiga kriteria untuk menegakkan diagnosis IMA ialah adanya nyeri dada khas
infark, perubahan gambar EKG, dan kenaikan biomarker jantung seperti enzim
creatine kinase (CK), creatine kinase myocardial band (CKMB), mioglobin dan
troponin.
Pada pemeriksaan fisis biasanya tidak ditemukan kelainan. Bila telah
terjadi komplikasi seperti gagal jantung, maka dapat ditemukan irama gallop
(bunyi jantung ketiga) atau ronki basah. Bila terjadi aritmia dan hipotensi,
maka penderita mungkin tampak pucat dan berkeringat dingin. Kadang-kadang
pasien IMA datang dengan keluhan nyeri ulu hati, dada rasa terbakar, atau rasa
tidak nyaman di dada yang sulit digambarkan penderita.
Berhubung karena usaha reperfusi secepatnya dengan trombolitik kurang
dari 6 jam setelah serangan IMA menentukan prognosis penderita IMA, sedangkan
kenaikan enzim atau perubahan EKG bisa baru terjadi sesudah 6 jam, sehingga
dibenarkan untuk mendiagnosis IMA hanya berdasrkan dua dari tiga kriteria tersebut
di atas.
1) Angina
Pektoris khas infark
Nyeri dada akibat infark memiliki karakteristik khas berupa nyeri dada
substernal dan menjalar ke tangan kiri, bahu, atau leher. Kualitas nyeri
biasanya berupa nyeri tumpul seperti rasa tertindih, rasa berat, atau seperti
diremas-remas. Kuantitas nyeri dari 20 menit dengan intensitas nyeri makin lama
makin bertambah. Tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Sebagian
besar disertai gejala sistemik seperti keringat dingin, mual, muntah, sesak
berdebar-debar, atau lemas.
2) Perubahan
EKG
Perubahan elektrokardiografik yang khas ada infark terjadi hanya ada
sadapan-sadapan yang terletak di atas atau di dekat lokasi infark.
- Infark inferior melibatkan permukaan diafragmatik jantung. infark ini sering disebabkan oleh penyumbatan a. koronaria dekstra atau cabang desendennya. Perubahan elektrokardiografik yang khas dilihat pada sadapan inferior (II,III, dan AVF).
- Infark lateral melibatkan dinding lateral kiri jantung. Infark ini sering disebabkan oleh penyumbatan ramus sirkumfleksus a. koronaria sinstra. Perubahan elektrokardiografik yang dilihat pada sadapan lateral (I, AVL, V5, dan V6).
- Infark anterior melibatkan permukaan anterior ventrikel kiri dan biasanya disebabkan oleh penyumbatan ramus intraventrikularis anterior a. koronaria sinstra. Semua sadaan prekordial (V1 sampai V6) dapat menunjukkan perubahan.
- Infark posterior melibatkan permukaan posterior jantung dan disebabkan oleh penyumbatan a. koronaria dekstra. Tidak ada sadaan yang terletak di atas dinding posterior.
Pada IMA transmural, gambaran EKG biasanya dimulai dari depresi segmen ST
dengan T terbalik, kemudian berubah menjadi elevasi segmen ST dan menghilangnya
gelombang R, sampai terbentuk gelombang Q. Jadi pada pasien dengan nyeri dada
khas infark disertai gambaran ST-segmen elevasi pada EKG, maka pada pasien
tersebut didiagnosis STEMI. Sedangkan pada IMA non-transmural, tidak ada
perubahan EKG yang spesifik, kecuali depresi segmen ST. Apabila dilakukan
pemeriksaan biomarker jantung yaitu troponin atau CKMB dan ditemukan positif,
maka pasien didiagnosis sebagai NSTEMI. Apabila pada pemeriksaan biomarker
jantung ditemukan negatif, maka pasien didiagnosis sebagai UAP.
Sebenarnya pada permulaan suatu infark telah terjadi perubahan EKG yang
disebut fase hiperakut, yaitu gelombang T yang tinggi dan lebar disertai
elevasi segmen ST yang miring (slope
elevation) dan VAT (ventricle activation time) yang memanjang. Namun karena
perubahan ini terjadi hanya sebentar sehingga sering lolos dari perhatian.
3) Kenaikan
enzim jantung
Kompleks troponin (Tn) terdiri dari 3 subunit yaitu TnC, Tnl, dan Tnt.
Enzim ini mengatur proses kontraktifitas miosit yang tergantung Ca, TnT adalah
yang paling sensitif dan dapat terdeteksi di dalam darah dalam waktu 2-4 jam
setelah muncul gejala IMA. Nilai positif troponin adalah di atas 0,1 ug/dl
(normal 0,05 ug/dl). Creatine kinase myocardial band (CKMB) adalah isoenzim
dari CK yang lebih spesifik mewakili enzim miokard, maka beberapa laboratorium
mendiagnosis IMA bila kenaikan nilai CKMB (normal < 16 u/L atau < 4%
total CK) melebihi 6 % dari CK (normal 32-267 u/L). Walaupun demikian CKMB
merupakan enzim yang kurang sensitif dan spesifik dibandingkan dengan troponin.
CKMB sangat berguna untuk mendiagnosis reinfark. CKMB dibagi menjadi MB I (berasal
dari serum) dan MB 2 (berasal dari miokard). Ratio yang normal dari kedua
isoenzim ini adalah 1,0. Apabila ratio MB2/MBI > 1,5, maka diagnosis infark
miokard dapat ditegakkan.
Creatine kinase (CK) memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah untuk
kerusakan otot jantung, karena enzim ini ditemukan di otot skelet, otak,
ginjal, paru, dan jaringan organ lain. CK meningkat setelah 3-8 jam terjadi
IMA, mencapai konsentrasi maksimal setelah 24 jam serangan, kemudian kembali ke
nilai normal setelah 72 jam serangan.
H. Penatalaksanaan
Intervensi dari
AMI ditujukan pada:
1.
Mengatasi nyeri dada
dan perasaan takut
2. Menstabilkan hemodinamik
3. Reperfusi
miokard secepatnya dengan trombolik.
4. Mencegah
komplikasi.
a) Tatalaksana
umum
1. Oksigen.
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin
(NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi
nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG
intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema
paru.
3. Mengurangi/menghilangkan
nyeri dada.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban jantung.
- Morfin. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
- Penyekat beta. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat, mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 kali/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan rhonki <10 cm dari diafragma. 15 menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
4. Aspirin.
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
5. Terapi
reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure
atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door-to-needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Fibrinolisis
Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri
koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik a.l: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase
(TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin.
Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan
nonspesifik fibrin seperti streptokinase. tPA dan aktivator plasminogen
spesifik fibrin lain sepeti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase
dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
b) Terapi
Farmakologis
- Antitrombotik
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder
adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan
antiplatelet standar pada STEMI. Obat anti trombin standar yang digunakan dalam
praktik klinis adalah unfractionated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin
dan obat trombolitik spesifik fibrin membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan
adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam
(maksimum 1000 U/jam). APTT selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2
kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3
enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di
RS dan iskemia refrakter di RS.
- Penyekat beta (Beta-blocker)
Manfaat
penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera bila
obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta
akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk
sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali pada
pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik
ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat
asma).
- ACE Inhibitor
ACE
inhibitor menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE,
dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak
pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark inferior, riwayat
infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti
menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada
semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI (pasien dengan tekanan darah
sistolik >100 mmHg). Mekanismenya melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal
jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat
inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor
ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE
harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung,
pada pasien dengan dengan pemeriksaan pencitraan menunjukkan penurunan fungsi
ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global,
atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal
jantung termasuk data dari penelitian pada pasien STEMI menunjukkan bahwa ARB
mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menuru
I. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering
pada IMA adalah aritmia dan gagal jantung. Komplikasi yang lain adalah syok
kardiogenik, ruptur septum atau dinding ventrikel, perikarditis, dan
tromboemboli.
J. Prognosis
Terdapat beberapa sistem
dalam menentukan prognosis pasca IMA.
- Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada IMA
Kelas
|
Definisi
|
Mortalitas(%)
|
I
|
Tak
ada tanda gagal jantung kongestif
|
6
|
II
|
+ S3 dan/atau ronki basah
|
17
|
III
|
Edema
|
30-40
|
IV
|
Syok
kardiogenik
|
60-80
|
- Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP).
Tabel 2. Klasifikasi Forrester
untuk Infark Miokard Akut
Klas
|
Indeks Kardiak (L/min/m2)
|
PCWP (mmHg)
|
Mortalitas (%)
|
I
|
>2,2
|
<18
|
3
|
II
|
>2,2
|
>18
|
9
|
III
|
<2,2
|
<18
|
23
|
IV
|
<2,2
|
>18
|
51
|
- TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi fibrinolitik.
Tabel 3. TIMI Risk Score untuk STEMI
Faktor Risiko (Bobot)
|
Skor Risiko / Mortalitas 30 hari (%)
|
Usia 65-74 tahun (2 poin)
Usia >75 tahun (3 poin)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
Tekanan darah sistolik <100mmHg (2 poin)
Frekuensi jantung >100 (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat <
67 kg (1 poin)
Elevasi ST
anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke
reperfusi >4 jam (1 poin)
Skor risiko = total poin (0-14)
|
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 ( 26,8)
>8 (35,9)
|
DAFTAR PUSTAKA
1. Thaler
MS. Iskemia dan infark miokardium. Dalam: Saru-satunya Buku EKG yang Anda
Perlukan. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2009. hal: 210, 224,226.
2. Kabo,
Peter. Penyakit jantung koroner. Dalam: Bagaimana Menggunakan Obat-obat
Kardiovaskular Secara Rasional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012.
hal:138-147.
3. Munaf,
M. Prevalensi kejadian hipertensi pada penyakit infark miokard di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adama Malik.Medan. Universitas Sumatera Utara; 2010.
4. Fauci, Braunwald, Kaser, Hauser, Longo, Jameson,
etc, editors. Unstable Angina and Non-ST-Elevation Myocardial
Infarction. In: Harrison's principles
of internal medicine, Seventeenth Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies;
2008.
5. Sudoyo
AW, dkk. Infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Ed.V. Jakarta: InternaPublishing; 2009. hal:1741-1754.
6.
Akbar N. Acute
coronary syndrome. [serial
online]. [cited 2013 Dec 15]: [40 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://ocw.usu.ac.id/course/download/1110000130-emergency-medicine/emd166_slide_acte_coronary.pdf
7. Farissa
IP. Komplikasi pada pasien infark
miokard akut st-elevasi (stemi) yang mendapat maupun tidak mendapat terapi
reperfusi. Semarang: Universitas Diponegoro; 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar