Jumat, 24 April 2015

INFARK MIOCARD



INFARK MIOCARD
A.     Definisi
Infark miokardium, atau serangan jantung, terjadi ketika salah satu arteri koroner tersumbat sepenuhnya. Daerah mikardium yang dipasok oleh arteri koroner kehilangan pasokan darahnya dan mati karena kehilangan oksigen dan nutrien lain.
Infark Miokard Akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard akibat iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Kejadian ini berhubungan erat dengan adanya trombus yang terbentuk akibat rupturnya plak ateroma. Selama berlangsungnya proses agregasi, platelet melepaskan banyak ADP, tromboksan A2 dan serotonin. Ketiga substansi ini akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah koroner yang aterosklorotik. Apabila keadaan ini mengakibatkan oklusi serius pada arteri koroner, maka terjadi infark miokard.
B.     Anatomi
Daerah di miokardium yang mengalami infark bergantung ada arteri koroner yang tersumbat dan luasnya aliran darah kolateral. Ada 2 sistem pasokan darah utama menuju mioardium, yang satu memasok sisi kanan jantung dan yang satu lagi memasok sisi kiri jantung.
Arteri koronaria dekstra berjalan diantara atrium kanan dan ventrikel kanan kemudian melingkari permukaan posterior jantung. Pada sebagian besar individu ia memberikan cabang desenden yang memasok nodus AV.
Arteri koronaria sinistra bercabang menjadi ramus intraventrikular anterior dan ramus sirkumfleksus. Ramus intraventrikular anterior memasok dinding anterior jantung dan sebagian besar sekat intraventrikular. Ramus sirkumfleksus berjalan diantara atrium kiri dan ventrikel kiri dan memasok dinding lateral ventrikel kiri.
C.     Klasifikasi IMA
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi:
1)      Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
2)      Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
D.    Etiologi dan Faktor Resiko
Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:
1. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.
4. a. Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
     b. Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik.
E.     Patogenesis
Patogenesis infark miokard akut (STEMI dan NonSTEMI) disebabkan karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokard akibat aterosklerosis atau plak.
1.      Proses terjadinya fissure dan ruptur plak
Oklusi total atau hamit total sering terjadi secara tiba-tiba ada arteri yang sebelumnya sudah mengalami stenosis. Plak matur terbentuk dari dua komponen yaitu inti kaya lipid dan protein matriks ekstraseluler yang membentuk fibrous cap. Adanya penumpukan lemak yang berlebihan serta infiltrasi sel busa berhubungan dengan fisssura dan ruptur plak. Sebagian besar lesi ini mengalami rupture pada tempat yang mengalami stress mekanik paling besar, misalnya pada daerah plaque cap dengan intima normal sekitarnya atau pada daerah lengkungan penumpukan lemak.
2.      Trombosis akut dan agregasi platelet
Trombosis lokal dapat terjadi setelah ruptur plak. Inti lipid merupakan substrat utama pembentukan thrombus yang kaya platelet. Otot polos maupun sel busa dalam inti berhubungan dengan ekspresi tissue factor pada lak yang tidak stabil. Apabila terjadi kontak dengan darah, tissue factor berinteraksi faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang mengakibatkan terbentuknya thrombin dan penumpukan fibrin lokal. Beberapa lesi vaskular akut dapat pulih kembali jika fissure dapat diperbaiki oleh adanya keseimbangan antara thrombosis dan trombolisis.
Adesi platelet terjadi melalui reseptor GP 1b bersamaan dengan faktor von Willebrand (1). Ini diikuti oleh aktivasi platelet (2), yang memicu perubahan bentuk dalam platelet, degranulasi dan ekspresi reseptor glikoprotein IIb/IIIa pada permukaan platelet dengan aktivasi reseptor, yang dapat mengikat fibrinogen. Langkah terakhir adalah agregasi platelet (3), fibrinogen (atau faktor von Willebrand) mengikat reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang aktif.
Agregasi platelet dan pelepasan komponen granuler yag dapat meningkatkan perlekatan platelet, vasokonstriksi, dan pembentukan trombus merupakan respon yang terjadi akibat ruptur dinding endotel. Reaktan yang dilepaskan pada fase akut inflamasi, sitokin, infeksi kronis, dan katekolamin dapat menyebabkan rangsangan sistemik yang dapat meningkatkan produksi tissue factor, aktivitas prokoagulasi, dan hiperagregabilitas platelet.
3.      Vasospasme arteri koroner
Walaupun bukan merupakan pathogenesis dasar SKA, vasospasme episodic dapat mengubah plak arteri koroner yang sebelumnya stabil menjadi tidak stabil yaitu terjadi ruptur intima, penetrasi makrofag dan agregasi trombosit.
F.     Gejala dan Tanda
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis.
G.    Diagnosis
Tiga kriteria untuk menegakkan diagnosis IMA ialah adanya nyeri dada khas infark, perubahan gambar EKG, dan kenaikan biomarker jantung seperti enzim creatine kinase (CK), creatine kinase myocardial band (CKMB), mioglobin dan troponin.
Pada pemeriksaan fisis biasanya tidak ditemukan kelainan. Bila telah terjadi komplikasi seperti gagal jantung, maka dapat ditemukan irama gallop (bunyi jantung ketiga) atau ronki basah. Bila terjadi aritmia dan hipotensi, maka penderita mungkin tampak pucat dan berkeringat dingin. Kadang-kadang pasien IMA datang dengan keluhan nyeri ulu hati, dada rasa terbakar, atau rasa tidak nyaman di dada yang sulit digambarkan penderita.
Berhubung karena usaha reperfusi secepatnya dengan trombolitik kurang dari 6 jam setelah serangan IMA menentukan prognosis penderita IMA, sedangkan kenaikan enzim atau perubahan EKG bisa baru terjadi sesudah 6 jam, sehingga dibenarkan untuk mendiagnosis IMA hanya berdasrkan dua dari tiga kriteria tersebut di atas.
1)      Angina Pektoris khas infark
Nyeri dada akibat infark memiliki karakteristik khas berupa nyeri dada substernal dan menjalar ke tangan kiri, bahu, atau leher. Kualitas nyeri biasanya berupa nyeri tumpul seperti rasa tertindih, rasa berat, atau seperti diremas-remas. Kuantitas nyeri dari 20 menit dengan intensitas nyeri makin lama makin bertambah. Tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Sebagian besar disertai gejala sistemik seperti keringat dingin, mual, muntah, sesak berdebar-debar, atau lemas.
2)      Perubahan EKG
Perubahan elektrokardiografik yang khas ada infark terjadi hanya ada sadapan-sadapan yang terletak di atas atau di dekat lokasi infark.
  1. Infark inferior melibatkan permukaan diafragmatik jantung. infark ini sering disebabkan oleh penyumbatan a. koronaria dekstra atau cabang desendennya. Perubahan elektrokardiografik yang khas dilihat pada sadapan inferior (II,III, dan AVF).
  2. Infark lateral melibatkan dinding lateral kiri jantung. Infark ini sering disebabkan oleh penyumbatan ramus sirkumfleksus a. koronaria sinstra. Perubahan elektrokardiografik yang dilihat pada sadapan lateral (I, AVL, V5, dan V6).
  3. Infark anterior melibatkan permukaan anterior ventrikel kiri dan biasanya disebabkan oleh penyumbatan ramus intraventrikularis anterior a. koronaria sinstra. Semua sadaan prekordial (V1 sampai V6) dapat menunjukkan perubahan.
  4. Infark posterior melibatkan permukaan posterior jantung dan disebabkan oleh penyumbatan a. koronaria dekstra. Tidak ada sadaan yang terletak di atas dinding posterior.
Pada IMA transmural, gambaran EKG biasanya dimulai dari depresi segmen ST dengan T terbalik, kemudian berubah menjadi elevasi segmen ST dan menghilangnya gelombang R, sampai terbentuk gelombang Q. Jadi pada pasien dengan nyeri dada khas infark disertai gambaran ST-segmen elevasi pada EKG, maka pada pasien tersebut didiagnosis STEMI. Sedangkan pada IMA non-transmural, tidak ada perubahan EKG yang spesifik, kecuali depresi segmen ST. Apabila dilakukan pemeriksaan biomarker jantung yaitu troponin atau CKMB dan ditemukan positif, maka pasien didiagnosis sebagai NSTEMI. Apabila pada pemeriksaan biomarker jantung ditemukan negatif, maka pasien didiagnosis sebagai UAP.
Sebenarnya pada permulaan suatu infark telah terjadi perubahan EKG yang disebut fase hiperakut, yaitu gelombang T yang tinggi dan lebar disertai elevasi segmen ST yang miring    (slope elevation) dan VAT (ventricle activation time) yang memanjang. Namun karena perubahan ini terjadi hanya sebentar sehingga sering lolos dari perhatian.
3)      Kenaikan enzim jantung
Kompleks troponin (Tn) terdiri dari 3 subunit yaitu TnC, Tnl, dan Tnt. Enzim ini mengatur proses kontraktifitas miosit yang tergantung Ca, TnT adalah yang paling sensitif dan dapat terdeteksi di dalam darah dalam waktu 2-4 jam setelah muncul gejala IMA. Nilai positif troponin adalah di atas 0,1 ug/dl (normal 0,05 ug/dl). Creatine kinase myocardial band (CKMB) adalah isoenzim dari CK yang lebih spesifik mewakili enzim miokard, maka beberapa laboratorium mendiagnosis IMA bila kenaikan nilai CKMB (normal < 16 u/L atau < 4% total CK) melebihi 6 % dari CK (normal 32-267 u/L). Walaupun demikian CKMB merupakan enzim yang kurang sensitif dan spesifik dibandingkan dengan troponin. CKMB sangat berguna untuk mendiagnosis reinfark. CKMB dibagi menjadi MB I (berasal dari serum) dan MB 2 (berasal dari miokard). Ratio yang normal dari kedua isoenzim ini adalah 1,0. Apabila ratio MB2/MBI > 1,5, maka diagnosis infark miokard dapat ditegakkan.
Creatine kinase (CK) memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah untuk kerusakan otot jantung, karena enzim ini ditemukan di otot skelet, otak, ginjal, paru, dan jaringan organ lain. CK meningkat setelah 3-8 jam terjadi IMA, mencapai konsentrasi maksimal setelah 24 jam serangan, kemudian kembali ke nilai normal setelah 72 jam serangan.
H.    Penatalaksanaan
Intervensi dari AMI ditujukan pada:
1.      Mengatasi nyeri dada dan perasaan takut
2.      Menstabilkan hemodinamik
3.      Reperfusi miokard secepatnya dengan trombolik.
4.      Mencegah komplikasi.
a)      Tatalaksana umum
1.      Oksigen.
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2.      Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru.
3.      Mengurangi/menghilangkan nyeri dada.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
  • Morfin. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
  • Penyekat beta. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat, mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60  kali/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan rhonki <10 cm dari diafragma. 15 menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
4.      Aspirin. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
5.      Terapi reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door-to-needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Fibrinolisis
      Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik a.l: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase. tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain sepeti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
b)      Terapi Farmakologis
  1. Antitrombotik
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Obat anti trombin standar yang digunakan dalam praktik klinis adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). APTT selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di RS dan iskemia refrakter di RS.
  1. Penyekat beta (Beta-blocker)
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera bila obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).
  1. ACE Inhibitor
ACE inhibitor menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark inferior, riwayat infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI (pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanismenya melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan dengan pemeriksaan pencitraan menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian pada pasien STEMI menunjukkan bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menuru
I.       Komplikasi
Komplikasi yang paling sering pada IMA adalah aritmia dan gagal jantung. Komplikasi yang lain adalah syok kardiogenik, ruptur septum atau dinding ventrikel, perikarditis, dan tromboemboli.
J.      Prognosis
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA.
  1. Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada IMA
Kelas
Definisi
Mortalitas(%)
I
Tak ada tanda gagal jantung kongestif
6
II
+ S3 dan/atau ronki basah
17
III
Edema
30-40
IV
Syok kardiogenik
60-80
  1. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP).
Tabel 2. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut
Klas
Indeks Kardiak (L/min/m2)
PCWP (mmHg)
Mortalitas (%)
I
>2,2
<18
3
II
>2,2
>18
9
III
<2,2
<18
23
IV
<2,2
>18
51
  1. TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi fibrinolitik.
Tabel 3. TIMI Risk Score untuk STEMI
Faktor Risiko (Bobot)
Skor Risiko / Mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
Usia >75 tahun (3 poin)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
Tekanan darah sistolik <100mmHg (2 poin)
Frekuensi jantung >100 (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi >4 jam (1 poin)
Skor risiko = total poin (0-14)
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 ( 26,8)
>8 (35,9)
DAFTAR PUSTAKA
1.      Thaler MS. Iskemia dan infark miokardium. Dalam: Saru-satunya Buku EKG yang Anda Perlukan. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2009. hal: 210, 224,226.
2.      Kabo, Peter. Penyakit jantung koroner. Dalam: Bagaimana Menggunakan Obat-obat Kardiovaskular Secara Rasional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. hal:138-147.
3.      Munaf, M. Prevalensi kejadian hipertensi pada penyakit infark miokard di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adama Malik.Medan. Universitas Sumatera Utara; 2010.
4.      Fauci, Braunwald, Kaser, Hauser, Longo, Jameson, etc, editors. Unstable Angina and Non-ST-Elevation Myocardial Infarction. In: Harrison's principles of internal medicine, Seventeenth Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2008.
5.      Sudoyo AW, dkk. Infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed.V. Jakarta: InternaPublishing; 2009. hal:1741-1754.
6.      Akbar N. Acute coronary syndrome. [serial online]. [cited 2013 Dec 15]: [40 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://ocw.usu.ac.id/course/download/1110000130-emergency-medicine/emd166_slide_acte_coronary.pdf
7.      Farissa IP. Komplikasi pada pasien infark miokard akut st-elevasi (stemi) yang mendapat maupun tidak mendapat terapi reperfusi. Semarang: Universitas Diponegoro; 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar