- Gangguan pada sendi otot. Misalnya: nyeri, pegal, linu, kaku, bengkak akibat keseleo / terkilir, rheumatik, sakit pinggang, sakit tengkuk, dll.
- Kelumpuhan otot akibat gangguan / kerusakan syaraf. Misalnya : stroke, wajah perot, kelumpuhan otot anggota gerak (akibat kecelakaan / infeksi)
- Gangguan nafas. Misalnya: Sesak nafas akibat asthma, bronchitis (ISPA), sesak nafas karena kegemukan.
- Patah tulang ( kaki, tangan, atau kaku sendi ) dan akibatnya.
- Gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Misalnya : terlambat jalan, kelainan fisik, cacat, dll.
- Gangguan fungsi jantung. Misalnya : Dekom jantung koroner, otot jantung kurang darah (AMI).
- Memperlancar proses persalinan, mengembalikan organ tubuh pasca persalinan, meningkatkan kesuburan kandungan, mencegah gangguan fisik ibu hamil (senam hamil, senam nifas)
- Meningkatkan kebugaran tubuh dan kecantikan denfgan cara senam (body language, aerobic, nafas segar, asthma, pencegahan osteoporosis, haji, stroke, lansia, SSI, Jantung, dll.)
- Gangguan akibat operasi. Misalnya : nyeri daerah yang dioperasi dan gangguan derakan sendi di sekitar yang dioperasi.
·
FISIOTERAPI adalah bentuk pelayanan Kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak
dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara
manual, peningkatan gerak, peralatan ( fisik, elektroterapeutis dan mekanis ),
pelatihan fungsi, komunikasi.
·
FISIOTERAPIS adalah seseorang yang telah lulus pendidikan formal
fisioterapi dan kepadanya diberikan kewenangan tertulis untuk melakukan
tindakan fisioterapi atas dasar keilmuan dan kompetensi yang dimilikinya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
ILMU
FISIOTERAPI adalah sintesa ilmu biofisika,
kesehatan, dan ilmu-ilmu lain yang mempunyai hubungan dengan upaya fisioterapi
pada dimensi promosi, pencegahan, intervensi, dan pemulihan gangguan gerak dan
fungsi serta penggunaan sumber fisis untuk penyembuhan seperti misalnya
latihan, tehnik manipulasi, dingin, panas serta modalitas elektroterapeutik.
0JURNAL
FISIOTERAPI
Manfaat Penambahan Knee Support Pada
Pelaksanaan Terapi MWD, US, Latihan Isometrik Terhadap Pengurangan Nyeri
Akibat Cidera Ligamen Collateral Medial Lutut Stadium Lanjut
S.Indra
Lesmana, Andrianto
Cidera ligamen collateral medial sendi
lutut merupakan salah satu cidera pada sendi lutut yang mengenai tali
pengikat sendi bagian medial yang diakibatkan oleh trauma langsung pada
bagian medial
sendi
lutut. Penelitian dilakukan di RSUD. Kota Bekasi dari bulan Agustus
2004–Februari 2005 yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh
MWD, US, Latihan Isometrik dan Pemakaian Knee Support dengan MWD, US,
dan Latihan Isometrik terhadap penurunan nyeri akibat Cidera
Ligamen Collateral Medial Sendi Lutut Stadium Lanjut. Analisa data
dengan uji Wilcoxon untuk mengetahui kemaknaan perlakuan. Sedangkan
untuk mengetahui ada perbedaan kemaknaan antara perlakuan yang diberikan
pada kelompok perlakuan 1 dengan kelompok perlakuan 2 digunakan uji Mann
Whitney. Penelitian menyimpulkan bahwa pemberian terapi MWD, US, Latihan
Isometrik, dan Pemakaian Knee Support berpengaruh dalam mengurangi nyeri
akibat cidera Ligamen Collateral Medial Lutut Stadium Lanjut
dengan nilai P Value=0,005 (P<α, α=0,05). Pada pemberian terapi MWD,
US, dan Latihan Isometrik juga berpengaruh dalam mengurangi nyeri akibat
cidera Ligamen Collateral Medial Lutut Stadium Lanjut dengan nilai P
Value=0,005 (P<α, α=0,05). Dari uji Mann Whitney didapat nilai P
value=0,000 (P<α, α=0,05), yang berarti ada perbedaan yang sangat
bermakna terhadap pengurangan nyeri antara kelompok perlakuan 1 dan
kelompok perlakuan 2. Kata Kunci: Knee Support, Latihan
Isometrik, Cidera Ligamen Collateral Medial
Pengaruh Penggunaan Splint Terhadap
Penurunan Spastisitas Penderita Stroke
Totok
Budi Santoso, J. Hardjono
Penelitian
yang akan dilakukan ini bertujuan ingin mengetahui bagaimanakah pengaruh
splint dan berapakah waktu yang diperlukan untuk dapat menurunkan tonus
otot yang tinggi pada penderita stroke. Penelitian ini adalah penelitian
eksperimen semu atau quasi experiment. Desain penelitian
dilakukan menurut rancangan pretest-postest with control Group . Dalam
rancangan dilakukan pemilihan untuk menentukan kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan, kemudian dilakukan pretest (01) pada ketiga
kelompok,
diikuti intervensi (X1) pada kelompok eksperimen. Agar efek pemberian splint
terlihat antara berbagai lama waktu pemakaian, maka kelompok eksperimen
terdiri atas tiga kelompok (A , B, dan C). Kelompok eksperimen A
diberikan perlakuan berupa pemakaian splint selama 1 jam, kelompok B
diberikan
pemakaian
splint selama 2 jam, sedengan kelompok C diberikan perlakuan pemakain splint
selama 3 jam. Populasi dalam penelitian adalah semua penderita stroke
yang melakukan kunjungan ke poliklinik fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah
Surakarta periode Januari sampai dengan April 2005. Pengambilan sampel
menggunakan
teknik purposive sampling. Jumlah sampel ditetapkan 60 dengan masing-masing
kelompok perlakuan sebanyak 20 orang. Pengumpulan data dengan
menggunakan skala asworth yang telah
dimodifikasi
baik sebelum maupun setelah pemakain splint. Analisa data meliputi analisis
deskriptif kemudian diikuti analisa uji beda baik dalam setiap kelompok
perlakuan maupun antar kelompok perlakuan. Untuk melakukan analisa ini
peneliti menggunakan alat bantu software SPSS versi 10.00 for
windows. Metode analisa yang dipakai adalah analisa statistik non
parametrik Wilcoxon untuk uji beda dalam kelompok dan Kruskal-Wallis
untuk uji beda antar kelompok. Pada akhir penelitian ternyata pada
pemakaian alat bantu splint selama 1 jam, 2 jam dan 3 jam semuanya dapat
menurunkan spastisitas otot penderita stroke dengan hasil statistik yang
bermakna. Waktu yang paling efektif dalam pemakaian splint
untuk menurunkan spastisitas otot penderita stroke adalah selama 2 jam.
Terdapat perbedaan yang bermakna antara pemakaian alat bantu splint
selama 1 jam, 2 jam dengan 3 jam terhadap penurunan spastisitas penderita
stroke. Kata Kunci : Splint, Spastisitas, Stroke
Beda Pengaruh Penambahan Long Axis
Oscillated Traction Pada Intervensi MWD Dan TENS Terhadap Pengurangan
Rasa Nyeri Pada Capsullar Pattern Akibat Osteoatritis Lutut
M.Irfan,
Rizka Gahara
Penelitian ini bertujuan mengetahui
perbedaan pengaruh penambahan Long axis oscillated traction pada
intervensi MWD dan TENS terhadap penurunan nyeri pada kondisi capsullar
pattern akibat osteoatritis lutut. Penelitian ini dilaksanakan di unit Fisioterapi
RSAL MINTOHARDJO Bendungan Hilir, Jakarta. Dimulai pada tanggal 11 Juli
sampai 20 Agustus 2005. Penelitian bersifat Quasi eksperimental
dan mengunakan teknik perposive sampling. Osteoatritis adalah suatu
patologi yang mengenai kartilago hialin
dari
sendi lutut, kondisi ini berpengaruh pada pengerasan jaringan subchondral,
rawan sendi mengeras, pemendekan capsul-ligament, spasme otot dan
terjepitnya saraf poli modal yang berada di sekitar sendi oleh osteofite
maka keluhan yang dapat timbul yaitu berupa nyeri. Pemberian intervensi MWD,
TENS dan long axis oscillated traction memberikan pengaruh yang sangat
bermakna pada penurunan nyeri akibat osteoatritis lutut. Hal ini
disebabkan karena efek terapetik dari MWD dan TENS melalui level sensoris dan level
spinal serta efek traksi pada jaringan sekitar sendi. Hasil uji Mann-Whitnay
selisih nilai VAS akhir pada
kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan nilai P = 0,001, terdapat perbedaan
pengaruh yang
sangat
signifikan pada kedua kelompok. Peneliti menyimpulkan bahwa penambahan long
axis oscillated traction pada intervensi MWD, TENS berpengaruh terhadap
penurunan nyeri pada capsullar pattern akibat osteoatritis lutut. Dengan
demikian pemilihan salah satu metoda dapat digunakan sebagai solusi dan
juga kombinasi kedua intervensi tersebut dapat digunakan untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
Kata Kunci: Long Axis Oscillated
Traction, Capsular Pattern, Osteoarthritis
Perbedaan Pengaruh Pemberian Intervensi
Micro Wave Diathermy (MWD) Dan Ultrasound Underwater Dengan Intervensi
Micro Wave Diathermy (MWD) Dan Ultrasound Gel Terhadap Penurunan Nyeri
Pada Kasus Plantar Fascitis
Heri
Periatna, Liza Gerhaniawati
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan pengaruh pemberian intervensi Micro Wave
Diathermy
(MWD) dan Ultrasound Underwater dengan intervensi Micro Wave Diathermy (MWD)
dan Ultrasound gel terhadap penurunan nyeri pada kasus plantar fascitis.
Plantar fascitis terjadi karena penguluran yang berlebihan pada plantar
fascianya yang dapat mengakibatkan suatu inflamasi pada fascia plantaris
yang khususnya mengenai bagian medial calcaneus sehingga dapat menimbulkan
nyeri. Metode penelitian bersifat Quasi eksperimental untuk mengetahui
efek suatu perlakuan pada objek penelitian. Serta untuk mempelajari
manfaat pemberian intervensi MWD dan ultrasound underwater terhadap
penurunan nyeri pada kasus plantar fascitis dengan metoda pretest post
test design. Penelitian menyimpulkan bahwa pemberian MWD dan ultrasound
underwater dan MWD dan ultrasound gel berpengaruh terhadap penurunan
nyeri pada plantar fascitis, namun berbeda dalam kecepatan
penurunannya. Kata Kunci: Ultrasound, Micro Wave Diathermy,
Plantar Fascitis
Perbedaan Pengaruh Pemberian Short Wave
Diathermy (SWD) Dan Contract Relax And Stretching Dengan Short Wave
Diathermy Dan Transverse Friction Terhadap Pengurangan Nyeri Pada
Sindroma Nyeri Miofasial Otot Levator Skapula
Sugijanto,
Bunadi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan pengaruh terapi Short wave Diathermy dan
Contract
Relax and Stretching dengan Short Wave Diathermy dan Transverse Friction
terhadap pengurangan nyeri akibat sindroma nyeri miofasial otot levator
skapula, dimana sampel penelitian ini
diperoleh
dari poliklinik fisioterapi Badan RSUD Arjawinangun dengan jumlah sampel
penelitian 20 orang laki-laki dan perempuan dengan umur 30-40 tahun yang
penelitiannya dilaksanakan pada 23 Juli sampai 3 September 2004.
Sindroma nyeri miofasial otot levator skapula adalah suatu gangguan lokal
pada otot levator Skapula dimana didapatkan adanya miofasial trigger
point atau taut band yang membentuk seperti jalinan tali dan dirasakan
nyeri menjalar (referred pain) saat diprovokasi dan menimbulkan
reflek ketegangan pada otot yang besangkutan. Dengan penerapan intervensi
Short Wave Diathermy dan Contract Relax and Stretching sebagai perlakuan
I, dan penerapan Short Wave Diathermy dan Transverse Friction sebagai
perlakuan II, dapat mengurangi nyeri akibat sindroma nyeri miofasial otot
levator skapula. Dalam penelitian yang dilakukan pada uji
kolmogorov–Smirnov sebelum intervensi hasilnya adalah p=0,759
yang berarti tidak ada perbedaan tingkat nyeri sebelum intervensi pada
kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II. Dari kedua perlakuan
intervensi ini ternyata sesuai dengan hasil pengujian analisis
penelitian setelah dilakukan empat kali intervensi dan berdasarkan hasil
uji Mann-Whitney, diperoleh nilai p=0,002 yang berarti bahwa ada
perbedaan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pengurangan nyeri akibat sindroma
nyeri miofasial otot levator skapula antara kelompok perlakuan I dengan
penerapan terapi Short Wave Diathermy dan Contact Relax and Stretching
dengan kelompok perlakuan II dengan terapi Short Wave Diathermy dan
Transverse Friction. Dimana kesimpulannya adalah terapi Short Wave Diathermy
dan Contract Relax and Stretcing sangat bermakna pengaruhnya terhadap
pengurangan nyeri akibat sindroma nyeri miofasial otot levator skapula
dari pada terapi Short Wave Diathermy dan Transverse Friction.
Kata Kunci: Contract Relax and
Stretching, Transverse Friction, Sindroma Miofasial Otot Levator
Skapula.
SUMBER
:
http://jurnal.esaunggul.ac.id/index.php/abstrak-fisioterapi-vol-6-no-1-april-2006.html
|
Myofascial
release technique (MRT) merupakan prosedur yang mengkombinasikan tekanan manual
terhadap bagian otot yang spesifik dan penggunaan stretching secara simultan
(Scheneider, 2005). Myofascial release technique terdapat 4 level. Empat level
MRT dideskripsikan berdasarkan posisi, ketegangan, dan aktivitas jaringan yang
diintervensi oleh praktisioner yang menggunakan kontak manual.
MRT level 1merupakan penanganan pada jaringan lunak dengan tidak ada ketegangan yang terlibat dan pasien dalam keadaan pasif. Kontak manual praktisioner bergerak secara
longitudinal sepanjang serabut otot dari distal ke proksimal dan pada arah aliran darah yang
menuju jantung.
MRT level 2 dilakukan dengan meletakkan jaringan lunak yang akan dintervensi pada keadaan menegang, pasien dalam keadaan pasif, kemudian manual kontak praktisioner bergerak secara longitudinal sepanjang serabut otot, dari distal ke proksimal, dan pada arah ke jantung.
Pada MRT level 3 dan 4, disertai dengan gerakkan dan otot dipendekkan. Praktisioner memberikan manual kontak yang statik hanya
pada distal lesi, kemudian daerah lesi ditarik oleh kontak dengan memanjangkan jaringan
lunak menggunakan gerakan pasif atau aktif.
Pada MRT level 3, pasien dalam keadaan pasif
dan jaringan lunak yang diintervensi digerakkan oleh praktisioner sepanjang range
of motion (ROM) dari posisi terpendek ke posisi yang terpanjang.
Level MRT yang terakhir adalah MRT level 4. MRT level 4 pasien menggerakakan jaringan yang diintervensi secara aktif sepanjang ROM dari posisi terpendek ke posisi yang terpanjang.
Pada MRT
level 3 dan 4, praktisioner berusaha untuk
menjaga manual kontak dalam posisi statik dan
hanya jaringan yang bergerak. Gerakan dari
struktur myofascial sepanjang ROM dari posisi
terpendek ke posisi terpanjang dibawah
manual kontak yang statik memberikan
sebuah teknik pelepasan yang akan
membongkar perlengketan jaringan dan
mengembalikan gerakan. Komponenn gerakan
pada MRT level 3 dan 4 merupakan komponen
utama yang membedakaan level MRT yang
diakukan (Mock, 2005)
Prinsip umum MRT level 3 dan 4
Ada beberapa prinsip dasar yang
memungkinkan MRT level 3 dan 4 dapat
dilakukan pada grup otot dan cedera
muskuloskletal
MRT level 1merupakan penanganan pada jaringan lunak dengan tidak ada ketegangan yang terlibat dan pasien dalam keadaan pasif. Kontak manual praktisioner bergerak secara
longitudinal sepanjang serabut otot dari distal ke proksimal dan pada arah aliran darah yang
menuju jantung.
MRT level 2 dilakukan dengan meletakkan jaringan lunak yang akan dintervensi pada keadaan menegang, pasien dalam keadaan pasif, kemudian manual kontak praktisioner bergerak secara longitudinal sepanjang serabut otot, dari distal ke proksimal, dan pada arah ke jantung.
Pada MRT level 3 dan 4, disertai dengan gerakkan dan otot dipendekkan. Praktisioner memberikan manual kontak yang statik hanya
pada distal lesi, kemudian daerah lesi ditarik oleh kontak dengan memanjangkan jaringan
lunak menggunakan gerakan pasif atau aktif.
Pada MRT level 3, pasien dalam keadaan pasif
dan jaringan lunak yang diintervensi digerakkan oleh praktisioner sepanjang range
of motion (ROM) dari posisi terpendek ke posisi yang terpanjang.
Level MRT yang terakhir adalah MRT level 4. MRT level 4 pasien menggerakakan jaringan yang diintervensi secara aktif sepanjang ROM dari posisi terpendek ke posisi yang terpanjang.
Pada MRT
level 3 dan 4, praktisioner berusaha untuk
menjaga manual kontak dalam posisi statik dan
hanya jaringan yang bergerak. Gerakan dari
struktur myofascial sepanjang ROM dari posisi
terpendek ke posisi terpanjang dibawah
manual kontak yang statik memberikan
sebuah teknik pelepasan yang akan
membongkar perlengketan jaringan dan
mengembalikan gerakan. Komponenn gerakan
pada MRT level 3 dan 4 merupakan komponen
utama yang membedakaan level MRT yang
diakukan (Mock, 2005)
Prinsip umum MRT level 3 dan 4
Ada beberapa prinsip dasar yang
memungkinkan MRT level 3 dan 4 dapat
dilakukan pada grup otot dan cedera
muskuloskletal
Beberapa
panduan akan
memberikan hasil yang menguntungkan
diantaranya (Mock, 2005).,
(1) myofascial release technique tidak boleh
dilakukan jika terdapat peradangan
(2) myofascial release technique tidak boleh
dilakukan stiap hari. Idealnya MRT diberikan
seminggu dua kali. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan waktu untuk perbaikan pada
jaringan agar tidak sensitif ketika dilakukan
penanganan selanjutnya
(3) manual kontak yang diberikan harus
lembut, melebar dan datar, jempol dalam
posisi datar lebih bisa dipakai pada banyak
area dengan traksi dan konrol yang diberikan
oleh
(4) jaringan harus digerakkan secara
longitudinal, bekerja dengan cara transversal
melintang serabut otot akan menyebabkan
peningkatan rasa tidak nyaman yang dialami
pasien
(5) ketika bekerja secara longitudinal
sepanjang otot, manual kontak harus
menyesuaikan kontur otot untuk mencegah
agar otot tidak terlepas dari manual kontak, hal
ini akan menyebabkan rasa yang tidak nyaman
pada pasien
(6) lotion mungkin digunakan untuk
meminimalkan sensasi pada kulit yang di ulur
(7) gerakan aktif atau pasif secara pada ROM
penuh harus dilakukan secara perlahan
(8) praktisioner harus selalu bekerja dengan
kontak yang bergerak pada arah dari jantung
untuk meminimalkan tekanan balik pada katup
vena untuki mencegah memar pada pasien
(9) praktisioner harus melakukan 3 sampai 5
kali pengulangan setiap kali kedatangan
diantaranya (Mock, 2005).,
(1) myofascial release technique tidak boleh
dilakukan jika terdapat peradangan
(2) myofascial release technique tidak boleh
dilakukan stiap hari. Idealnya MRT diberikan
seminggu dua kali. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan waktu untuk perbaikan pada
jaringan agar tidak sensitif ketika dilakukan
penanganan selanjutnya
(3) manual kontak yang diberikan harus
lembut, melebar dan datar, jempol dalam
posisi datar lebih bisa dipakai pada banyak
area dengan traksi dan konrol yang diberikan
oleh
(4) jaringan harus digerakkan secara
longitudinal, bekerja dengan cara transversal
melintang serabut otot akan menyebabkan
peningkatan rasa tidak nyaman yang dialami
pasien
(5) ketika bekerja secara longitudinal
sepanjang otot, manual kontak harus
menyesuaikan kontur otot untuk mencegah
agar otot tidak terlepas dari manual kontak, hal
ini akan menyebabkan rasa yang tidak nyaman
pada pasien
(6) lotion mungkin digunakan untuk
meminimalkan sensasi pada kulit yang di ulur
(7) gerakan aktif atau pasif secara pada ROM
penuh harus dilakukan secara perlahan
(8) praktisioner harus selalu bekerja dengan
kontak yang bergerak pada arah dari jantung
untuk meminimalkan tekanan balik pada katup
vena untuki mencegah memar pada pasien
(9) praktisioner harus melakukan 3 sampai 5
kali pengulangan setiap kali kedatangan
boleh minta jurnal tentang myofascial yg materiini maz ? sama alamat web sumber mock 2005 ?
BalasHapus