Jumat, 24 April 2015

HEPATITIS B



HEPATITIS B
A.  Defenisi
Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati. “Hepa” berarti kaitan dengan hati, sementara “itis” berarti radang. Peradangan ini biasa di sebabkan oleh infeksi atau toksin termasuk alkohol. Sampai saat ini baru di ketahui penyebab hepatitis virus adalah virus hepatitis A-G. HBV merupakan virus DNA, termasuk dalam famili Hepadnaviridae yang memiliki envelope, berukuran kecil dan mengandung DNA beruntai ganda parsial dengan 3200 pasang basa nitrogen. Masa inkubasi virus ini adalah 1-6 bulan.2,4
B.  Epidemiologi
1.         Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur, Paling sering pada bayi dan anak yaitu sekitar 25 - 45,9%. Resiko untuk menjadi kronis menurun dengan bertambahnya umur, hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam jumlah cukup seiring dengan bertambahnya umur untuk menjamin terhindar dari hepatitis kronis.5
2.      Jenis kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B dibanding pria.6
3.      Mekanisme pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena sistem imun belum berkembang sempurna.4
4.      Kebiasaan hidup
Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas seksual dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tatto, pemakaian akupuntur.3
5.      Pekerjaan
Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan penderita dan material manusia (darah, tinja, air kemih).6
C.  Sumber Dan Cara Penularan Virus Hepatitis B7
1.    Sumber Penularan Virus Hepatitis B.
§  Darah
§  Saliva
§  Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B
§  Feces dan urine
§  Lain-lain: pisau cukur, alat kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis
2.    Cara penularan virus Hepatitis B
Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu :
a. Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus
hepatitis B dan pembuatan tattoo
b. Non Parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar
virus hepatitis B contoh: ketika aff infus tidak menggunakan sarung tangan, sangat berisiko kontak dengan darah pasien yang masih ada di madrin.
Secara epidemiologik penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara penting
yaitu:
a. Penularan vertikal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang
HBsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa
perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi antar
negara satu dan lain berkaitan dengan kelompok etnik.
b. Penularan horizontal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang
pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya, misalnya: melalui
hubungan seksual.
D.  Patogenesis HepatitisB 4,6
Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel dan maasuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbsAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respons imun spesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini tejadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik, yaitu dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding APC dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada didalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas IFNγ dan TNFα yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus kedalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemkan adanya anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu.
·         Faktor Virus, antara lain :
Terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom VHB dala genom sel hati.
·         Faktor Pejamu, antara lain :
Faktor genetik, kurangnya IFN, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal.
Salah satu contoh peran imunoterapi terhadap produk VHB dalam persistensi VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HbsAg dan HbeAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HbeAg. Tidak adanya HbeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.
Perjalanan Penyakit Hati
       Sebagian besar Individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HbsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik, sedangkan hanya sedikit individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang berbeda, tergantung dari konsentrasi partikel VHB dan respons imun tubuh. Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB, sangat besar perannya dalam menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar respons imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan hati. Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B Kronik yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearence, dan fase nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HbsAg yang sangat tinggi, HbeAg positif, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HbeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HbeAg tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkanmenghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HbeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HbsAg rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan anti-Hbe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan.6
MEKANISME TERJADINYA IKTERUS
Pembagian mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.3
§  Fase Prahepatik1,4
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)
a.       Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
b.      Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
§  Fase Intrahepatik1,5
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
c.       Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
d.      Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.
§  Fase Pascahepatik3,4
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor
e.       Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik)3
A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
1. Over produksi3
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika berat.
2. Penurunan ambilan hepatik 5
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Penurunan konjugasi hepatik1,3
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II.
B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk3,5
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu.Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : 5
-          Obstruksi sal.empedu didalam hepar
Sirosis hepatis, abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
-          Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris
-          Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor saluran empedu.
-          Tekanan dari luar saluran empedu :
Tumor caput pancreas, tumor Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di lig.hepatoduodenale
E.     Manifestasi Klinis Hepatitis B
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B dibangi 2 yaitu :
1.      Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B dari tubuh.
Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik 4
2.      Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan VHB.
a.      Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang jelas.
Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :
1.      Fase Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum, SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat).
2.      Fase lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal.
3.      Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadarenzim aminotransferase. pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.5,6
b.      Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian. Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi pemeriksaan SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan muntah yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuria dan uremia.5
c.       Hepatitis Kronik
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang mantap.6
          
       F.     Diagnosis 3,7
a.       Anamnesis
Menanyakan tentang keluhan pasien sesuai dengan gejala-gejala yang khas pada penyakit hati,menanyakan tentang riwayat kontak dengan darah orang yang di curigai terinfeksi virus hepatitis dll. Anamnesis yang baik dan sistematika 80% dapat mendiagnosis suatu penyakit.
b.      Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik biasa di ditemukan Sklera, dan kulit ikterik. Penurunan bunyi usus besar, peningkatan lingkar abdomen, dan adanya pergerakan cairan.  Biasa juga yang khas terdapat nyeri tekan perut kanan. Bila hepatitis kronik dengan komplikasi sirosis hepatis maka sering ditemukan hati mengecil, spider nevi, eritema palmar dan edema pada kedua tungkai.
c.       Pemeriksaan penunjang
§  Evaluasi Lab
Biasanya meliputi beberapa pemeriksaan penapisan untuk fungsi hati. Pemeriksaan biokimiawi bisa mencakup: Enzim-enzim serum termasuk SGOT/PT, alkaline phosphatase,HbsAg
Gambaran Laboratorium Yang Khas Pada Hepatitis Virus Akut Tipe B
HbsAg
HBsAg sudah positif dalam masa inkubasi, biasanya 2-6 minggu sebelum timbulnya gejala-gejala. Pada Hepatitis B Akut HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan, kemudian timbul Anti-HBs yang akan tetap terdeteksi seumur hidup. Pada sebagian kecil Anti-HBS kemudian bisa tidak terdeteksi. Bila HBsAg tidak hilang,dan persisten lebih dari 6 bulan dinamakan Hepatitis B kronik. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap Hepatitis B kronis, HBsAg timbul antara usia 6 minggu sampai 6 bulan dan umumnya bersifat persisten.
HBeAg
HBeAg terdeteksi dalam serum dalam waktu singkat setelah terdeteksi HBsAg. HBeAg bersama dengan HBVDNA adalah tanda-tanda bahwa ada replikasi HBV yang masih aktif. Bila infeksi mereda HBeAg hilang dari serum dalam waktu singkat sebelum HbsAg menghilang

HBV DNA

Seperti HBeAG, HVDNA adalah petanda bahwa ada replikasi HBV yang masih aktif. Ditemukan dan hilang dari serum kira-kira bersamaan dengan HBeAg.
Setelah terinfeksi HBV, penanda virologik pertama yang terdeteksi dalam serum selama 1-12 minggu, biasanya antara 8-12 minggu, adalah HbsAg. Sirkulasi HbsAg mendahului peningkatan aktivitas serum aminotransferase dan gejala-gejala klinis 2-6 minggu dan tetap terdeteksi selama fase ikterik atau fase simtomatik dari hepatitis B akut dan sesudahnya. Setelah HbsAg tidak terdeteksi 1-2 bulan setelah onset dari jaundice dapat bertahan lebih dari 6 bulan.
Setelah HBsAg menghilang, antibody terhadap HBsAg (anti-HBS) mulai terdeteksi dalam serum dan bertahan sampai waktu yang tidak terbatas. Karena HbcAg intraseluler dan ketika di dalam serum, tersembunyi dalam mantel HbsAg, jelas terlihat HbcAg tidak bersirkulasi dalam serum dan oleh karena itu, HBcAg tidak terdeteksi dalam serum pasien dengan infeksi HBV.
Di lain pihak, antibodi terhadap HbcAg (anti-HBc) dengan cepat terlihat dalam serum dimulai dalam 1-2 minggu pertama setelah timbulnya HbsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Karena terdapat  variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs setelah infeksi HBV, kadang terdapat suatu tenggang waktu beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya HbsAg dalam timbulnya anti-HBs. Selama periode ‘gap’ atau ‘window period’ ini anti-HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi HBV yang sedang berlangsung, dan darah yang mengandung anti-HBc tanpa adanya HbsAg dan anti-HBs telah terlibat pada  pada perkembangan hepatitis B akibat transfusi. IgM  Anti-Hbc terdeteksi kira-kira selama 6 bulan pertama setelah infeksi akut, sedangkan IgG anti-HBc setelah 6 bulan. Oleh karena itu, pasien yang menderita hepatitis B akut memiliki IgM anti-HBc dalam serumnya.
 
§  Evaluasi radiographic
USG paling baik digunakan sebagai alat penapis untuk memperlihatkan dilatasi percabangan-percabangan saluran empedu dan memperlihatkan batu empedu. Alat ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit parenkim.
G.    Penatalaksanaan
1.    Non-Farmakologi
Pasien hepatitis B harus menghindar kontak seksual sampai antigenemia hilang. menghindari semua hepatitisatotoksin, terutama alcohol. pengaturan diet yang tepat dapat mempercepat pemulihan fungsi hati. Pemberian protein bermutu tinggi dan vitamin dapat mempercepat pemulihan dari sel-sel hati yang mengalami kerusakan seperti Aminoleban mengandung AARC / BCAA ( Branch Chain Amino Acids) kadar tinggi serta diperkaya dengan asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutrisi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Dosis Dewasa 500-1000 ml/dosis dengan infus drip intravena 25-40 tetes/menit
Namun perlu diingat bahwa pemberian protein harus disesuaikan dengan toleransi tubuh penderita karena bila berlebih dapat menyebabkan kadar ammonia dalam darah meningkat atau tidak seimbang sehingga timbullah berbagai gangguan dalam tubuh. Oleh karenanya, diperlukan suatu pengaturan diet yang tepat untuk penderita hepatitis agar diperoleh pemulihan yang maksimal.1
Tujuan pengaturan diet pada penderita penyakit hati adalah memberikan makanan cukup untuk mempercepat perbaikan fungsi tanpa memperberat kerja hati. Syaratnya adalah sebagai berikut :3,6
1.      Kalori tinggi, kandungan karbohidrat tinggi, lemak sedang dan protein disesuaikan dengan keadaan penderita.
2.      Diet diberikan secara berangsur, disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi pendeita.
3.      Cukup vitamin dan mineral.
4.      Rendah garam atau cairan dibatasi bila terjadi penimbunan garam/air.
5.      Mudah dicerna dan tidak merangsang.
6.       Bahan makanan yang mengandung gas dihindarkan
Macam - Macam Diet Untuk Penderita Penyakit Hati 4
a.       Diet 1
Untuk penderita sirosis hati yang berat dan hepatitis akut prekoma. Biasanya diberikan makanan berupa cairan yang mengandung karbohidrat sederhana misalnya sari buah, sirop, teh manis. Pemberian protein sebaiknya dihindarkan. Bila terjadi penimbunan cairan atau sulit kencing maka pemberian cairan maksimum 1 liter perhari. Diet ini sebaiknya diberikan lebih dari 3 hari.
b.      Diet 2
Diberikan bila keadan akut atau prekoma sudah dapat diatasi dan mulai timbul nafsu makan. Diet berbentuk lunak atau dicincang, tergantung keadaan penderita. Asupan protein dibatasi hingga 30 gram perhari, dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.
c.       Diet 3
Untuk penderita yang nafsunya cukup baik. Bentuk makanan lunak atau biasa, tergantung keadaan penderita. Kandungan protein bisa sampai 1 g/kg berat badan, lemak sedang dalam bentuk yang mudah dicerna.
d.      Diet 4
Untuk penderita yang nafsu makannya telah membaik, dapat menerima protein dan tidak menunjukan sirosis aktif. Bentuk makanan lunak atau biasa, tergantung kesanggupan penderita. Kalori, kandungan protein dan hidrat arang tinggi, lemak, vitamin dan mineral cukup.
Kelompok Makanan Sehari-hari
Secara praktis, makanan sehari-hari dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
1.      Kelompok kuning
Makanan yang digunakan sebagai sumber energi seperti nasi, kentang, minyak, gula, dan kue. Asupan makanan dari kelompok ini harus ditetapkan jumlahnya perhari.
2.      Kelompok hijau
Kelompok makanan yang harus dimakan sesuai kebutuhan. Contohnya sayur-sayuran dan buah-buahan. Karena mengandung serat, makanan ini bisa mencegah sembelit. Makanan ini mengandung pula vitamin dan mineral.
3.      Kelompok merah
Terdiri atas makanan banyak protein misalnya daging, telur, ikan dan lain-lain. Konsumsi makanan kelompok ini harus berhati-hati karena bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih akan mengakibatkan peningkatan kadar ammonia dalam darah.
Pemilihan Bahan Makanan Bagi Penderita Hepatitis:4,5
1.      Hindari makanan yang dapat menimbulkan gas, seperti ubi, singkong, kacang merah, kol, sawi, lobak, nangka, durian dan lain-lain.
2.      Hindari makanan yang telah diawetkan seperti sosis, ikan asin, kornet, dan lain-lain.
3.      Pilihlah bahan makanan yang kandungan lemaknya tidak banyak seperti daging yang tidak berlemak, ikan segar, ayam tanpa kulit.
4.      Sebaiknya pilih sayur-sayuran yang sedikit mengandung serat seperti bayam, wortel, bit, labu siam, kacang panjang muda, buncis muda, daun kangkung dan sebagainya.
5.      Bumbu-bumbu jangan terlalu merangsang. Salam, laos, kunyit, bawang merah, bawang putih dan ketumbar boleh dipakai tetapi jangan terlalu banyak.
6.      Hindarkan makanan yang terlalu berlemak seperti daging babi, usus, babat, otak, sum-sum dan santan kental.
Bagi penderita hepatitis, terapi diet sangat penting untuk dilakukan. Kandungan gizi pada terapi diet penderita hepatitis berbeda-beda tergantung pada kondisi penderita. Total kalori yang diberikan juga berbeda, tergantung besar badan dan aktifitas penderita. Selain itu, pada umumnya kurang baik jika terlalu banyak mengurangi lemak kecuali bila ada gejala kuning pada mata atau kulit. Lemak yang mengandung banyak asam lemak esensial seperti minyak nabati atau minyak ikan boleh diberikan seperti biasa.
2.    Farmakologi
Pada pasien yang diidentifikasi sebagai kandidat yang sesuai untuk mendapat terapi antivirus, tujuan terapi adalah untuk menekan replikasi HBV dan mencegah progresi penyakit hati. Respon terapi antivirus dapat diklasifikasikan menjadi biokimia (menormalkan ALT), virologis (pembersihan DNA HBV), serologis (menghilangkan HBeAg, serokonversi HBeAg, menghilangkan HBsAg), atau histologis (perbaikan histologihati). Penting untuk menilai respon virologis tidak saja selama terapi antivirus namun juga setelah terapi dihentikan, dan menilai apakah muncul resistensi pada pasien yang melanjutkan terapi untuk jangka panjang.3
-          Interferon
IFN Merupakan sitokin yang memiliki efek antivirus, antiproliferatif, dan imunomodulator. Pemberian IFN memerlukan frekuensi pemberian 3 kali seminggu, sehingga digantikan oleh pegylated-IFN (PEG-IFN) karena PEG-IFN memiliki waktu paruh yang lebih panjang daripada IFN, dan dapat diberikan 1 kali/minggu. Efek samping: kelelahan, demam, sakit kepala, mual, tidak nafsu makan, kekakuan, mialgia, artralgia, nyeri muskuloskeletal, insomnia, depresi,4
-          Lamivudin
Lamivudin, adalah obat antivirus pertama yang dilabel untuk terapi infeksi HBV kronis di USA untuk pasien dewasa, juga diindikasikan untuk anak-anak yang terinfeksi HBV dan HIV. Lamivudin efektif menekan DNA HBV pada pasien HBe-Ag-positif dan negative, dan dapat menstabilkan atau memperbaiki fungsi hati pada pasien dengan penyakit hati tingkat lanjut temasuk sirosis terdekompensasi. Manfaat lamivudin antara lain pemberian per oral yang nyaman, relative murah disbanding obat lain, dan ditoleransi dengan sangat baik serta aman. Namun, manfaat lamivudin sebagai monoterapi untuk infeksi HBV kronis sangat dibatasi oleh tingginya angka resistensi. Resistensi lamivudin meningkat seiring dengan durasi terapi dan dilaporkan terjadi pada sekitar 16-32%, 42% dan 60-70% pasien setelah 1, 2 dan 5 tahun terapi. Lamivudin masih berperan pada beberapa pasien khusus, namun karena tingginya resistensi, lamivudin monoterapi tidak lagi menjadi pilihan untuk pasien dengan infeksi HBV kronis yang memerlukan terapi jangka panjang.4,6
-          Adefovir Dipivoxil
Adepovir dipivoxil, pro-drug adefovir, diindikasikan untuk terapi infeksi HBV kronis pada pasien dewasa dan remaja usia paling sedikit 12 tahun. Adefovir efektif menekan DNA HBV dan lebih baik dibandingkan dengan lamivudin, resistensi terjadi lebih lambat selama terapi adefovir dipivoxil, angka resistensi berkisar 0%, 3% dan 30% setelah penggunaan 48 minggu, 96 minggu dan 240 minggu. Adefovir dipivoxil biasanya dapat ditoleransi dengan baik, namun nefrotoksisitas terjadi pada dosis tinggi (30 mg/hari) dan muncul ketika terdapat penyakit ginjal yang mendasari atau selama terapi bersamaan den obat lain yang juga nefrotoksik.7
-          Entecavir
Entecavir diindikasikan sebagai terapi HBV kronis pada dewasa dan remaja usia minimum 16 tahun, termasuk pasien yang terbukti terinfeksi HBV resisten-lamivudin. Manfaat utama entecavir adalah potensi yang sangat baik dan resistensi yang jarang terjadi pada pasien yang belum pernah menggunakan analog nukleotida/nukleosida sebelumnya.7
H.    Pencegahan 6
-       Pencegahan dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health Promotion baik pada hospes maupun lingkungan dan perlindungan khusus terhadap penularan.
-       Health Promotion terhadap hos berupa pendidikan kesehatan, peningkatan higiene perorangan, perbaikan gizi, perbaikan sistem transfusi darah dan mengurangi kontak erat dengan bahan-bahan yang berpotensi menularkan virus VHB.
-       Pencegahan virus hepatitis B melalui lingkungan, dilakukan melalui upaya: meningkatkan perhatian terhadap kemungkinan penyebaran infeksi VHB melalui tindakan melukai seperti tindik, akupuntur, perbaikan sarana kehidupan di kota dan di desa serta pengawasan kesehatan makanan yang meliputi tempat penjualan makanan dan juru masak serta pelayan rumah
-       Pada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang prevalensi rendah immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin hepatitis diberikan secara intra muskular sebanyak 3 kali dan memberikan perlindungan selama 2 tahun.
Program pemberian sebagai berikut: Dewasa:Setiap kali diberikan 20 μg IM yang diberikan sebagai dosis awal, kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan. Anak :Diberikan dengan dosis 10 μg IM sebagai dosis awal , kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Departemen Kesehatan RI, 2010. Profil Kesehatan RI Tahun 2008. Jakarta. [Akses]: 2012 Mei 3. Available from: URL:www.depkes.go.id
2.      WHO, 2007. Scaling Up Prevention And Control Of Non-Communicable Diseases. The SEANET-NCD Meeting, 22-26 Oktober 2007, Phuket, Thailand. [Akses]: 2012 Maret 24. Available from: URL:http://www.searo.who.int/
3.      Maria H, 1997, Hepatitis B Makin Meningkat, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia; tahun XXV, nomor 7
4.      Lindseth, Glenda N. Gangguan Gangguan Hati, Empedu, Dan Pankreas. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Vol.1. Jakarta: EGC. h. 485-93
5.      Mansjoer, A, dkk, 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Jilid.1 . Jakarta: Media Aesculapius FKUI. h. 513-7
6.      Sanityoso A, dkk. 2009. Hepatitis Virus Akut, Hepatitis B Kronik. Ed. V. Jilid.1. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. h. 427-39
7.      Harrison, Principle of Internal Medicine Edisi 9. Gangguan Hepatobilier dan Pankreas. Penterjemah Adhi Dharma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta Utara.