HEPATITIS
B
A. Defenisi
Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati.
“Hepa” berarti kaitan dengan hati, sementara “itis” berarti radang. Peradangan
ini biasa di sebabkan oleh infeksi atau toksin termasuk alkohol. Sampai saat
ini baru di ketahui penyebab hepatitis virus adalah virus hepatitis A-G. HBV merupakan virus DNA, termasuk dalam famili
Hepadnaviridae yang memiliki envelope, berukuran kecil dan mengandung
DNA beruntai ganda parsial dengan 3200 pasang basa nitrogen. Masa inkubasi
virus ini adalah 1-6 bulan.2,4
B. Epidemiologi
1.
Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur, Paling sering pada bayi
dan anak yaitu sekitar 25 - 45,9%. Resiko untuk menjadi kronis menurun dengan
bertambahnya umur, hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam jumlah
cukup seiring dengan bertambahnya umur untuk menjamin terhindar dari hepatitis
kronis.5
2.
Jenis
kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B
dibanding pria.6
3.
Mekanisme
pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering
terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B,
terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena
sistem imun belum berkembang sempurna.4
4.
Kebiasaan
hidup
Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas seksual
dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian
tatto, pemakaian akupuntur.3
5.
Pekerjaan
Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter,
dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas
laboratorium dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan penderita
dan material manusia (darah, tinja, air kemih).6
C. Sumber Dan Cara Penularan Virus Hepatitis B7
1.
Sumber
Penularan Virus Hepatitis B.
§
Darah
§
Saliva
§
Kontak
dengan mukosa penderita virus hepatitis B
§
Feces
dan urine
§ Lain-lain: pisau cukur, alat kedokteran yang terkontaminasi
virus hepatitis
2.
Cara
penularan virus Hepatitis B
Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu :
a. Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus
hepatitis B dan pembuatan tattoo
b. Non Parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar
virus hepatitis B contoh: ketika aff infus tidak menggunakan sarung tangan,
sangat berisiko kontak dengan darah pasien yang masih ada di madrin.
Secara epidemiologik penularan
infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara penting
yaitu:
a. Penularan vertikal; yaitu
penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang
HBsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa
perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi
antar
negara satu dan lain berkaitan dengan kelompok etnik.
b. Penularan horizontal; yaitu
penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang
pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya, misalnya:
melalui
hubungan seksual.
D. Patogenesis
HepatitisB 4,6
Virus hepatitis B
(VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel dan
maasuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel
hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk
bulat dan tubuler, dan HbsAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB
merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respons imun
spesifik (innate immune response)
karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai
beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini tejadi tanpa restriksi HLA,
yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk proses
eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik, yaitu dengan
mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi
setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I
yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding APC dan
dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan
kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang
ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respons
imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan
mengeliminasi virus yang ada didalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi
tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan
meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi
eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui
aktivitas IFNγ dan TNFα yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme
nonsitolitik).
Aktivasi sel
limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara
lain anti-HBs, anti-HBc, anti-Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel
VHB bebas dan mencegah masuknya virus kedalam sel. Dengan demikian anti-HBs
akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan
disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik
ternyata dapat ditemkan adanya anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan
HbsAg.
Bila proses
eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan
bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap.
Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh
faktor virus ataupun faktor pejamu.
·
Faktor
Virus, antara lain :
Terjadinya imunotoleransi terhadap produk
VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi,
terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom VHB dala
genom sel hati.
·
Faktor
Pejamu, antara lain :
Faktor genetik, kurangnya IFN, adanya
antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin atau
hormonal.
Salah satu contoh peran imunoterapi terhadap produk VHB dalam persistensi
VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan oleh
ibu HbsAg dan HbeAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya
imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi
VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan
sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi VHB
dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore
dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HbeAg. Tidak adanya HbeAg
pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.
Perjalanan Penyakit Hati
Sebagian besar Individu yang mendapat
infeksi sejak lahir akan tetap HbsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita
Hepatitis B Kronik, sedangkan hanya sedikit individu dewasa yang mendapat
infeksi akan mengalami persistensi infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan
yang berbeda pada individu yang berbeda, tergantung dari konsentrasi partikel
VHB dan respons imun tubuh. Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh
terhadap VHB, sangat besar perannya dalam menentukan derajat keparahan
hepatitis. Makin besar respons imun tubuh terhadap virus, makin besar pula
kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut
maka tidak terjadi kerusakan hati. Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit
hepatitis B Kronik yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearence, dan fase nonreplikatif
atau fase residual. Pada masa
anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB
sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak
terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase
replikatif dengan titer HbsAg yang sangat tinggi, HbeAg positif, anti-Hbe
negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini
disebut fase imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi
serokonversi HbeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi
HbeAg tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu dengan
persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi
proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan
ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase
imunoaktif atau immune clearance.
Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkanmenghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi
HbeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya,
sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar
partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer
HbsAg rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan anti-Hbe yang menjadi
positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai
terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual.
Sekitar 20-30% pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan.6
MEKANISME TERJADINYA IKTERUS
Pembagian mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam
3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih relevan. Pentahapan
yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi
5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake,
konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah
satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.3
§ Fase Prahepatik1,4
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan
oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)
a.
Pembentukan Bilirubin.
Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan
terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein heme lainnya yang berada
terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah
merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
b.
Transport plasma. Bilirubin
tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya
dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus,
karenanya tidak muncul dalam air seni.
§ Fase Intrahepatik1,5
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada
hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
c.
Liver uptake. Pengambilan bilirubin
melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk
pengambilan albumin.
d.
Konjugasi. Bilirubin bebas
yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik
membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk.
Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak larut dalam air
kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik
seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus
dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh
sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada
asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi
/ bilirubin direk.
§ Fase Pascahepatik3,4
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar
hati oleh batu empedu atau tumor
e.
Ekskresi bilirubin.
Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Di
dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan
mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat.
Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah
kecil mencapai mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan
bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini
menerangkan warna air seni yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau
kolestasis intrahepatik. Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat
salah satu dari keempat mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan
hepatik, penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam
empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik)3
A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
1. Over produksi3
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah
yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi
bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling
sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya
bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut
dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi
bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan
peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus
hemolitik : hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit
(sferositosis heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan
malaria tropika berat.
2. Penurunan ambilan hepatik 5
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan
memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa
obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Penurunan konjugasi hepatik1,3
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim
glukoronil transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler
Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II.
B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk3,5
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat
penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu.Gangguan ekskresi bilirubin dapat
disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi
bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali
bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia.
Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis,
alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yg.meracuni hati fosfor,
klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus pada trimester
terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, ikterus
pasca bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran
bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai
tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :
5
-
Obstruksi sal.empedu didalam
hepar
Sirosis hepatis, abses hati,
hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
-
Obstruksi didalam lumen
sal.empedu : batu empedu, askaris
-
Kelainan di dinding
sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor saluran empedu.
-
Tekanan dari luar saluran
empedu :
Tumor caput pancreas, tumor
Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di lig.hepatoduodenale
E.
Manifestasi Klinis Hepatitis B
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis
B dibangi 2 yaitu :
1.
Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap
individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya
virus hepatitis B dari tubuh.
Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik 4
2.
Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap
individu dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan
VHB tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan VHB.
a. Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang
jelas.
Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :
1.
Fase
Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas,
demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air
kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar
bilirubin serum, SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat).
2.
Fase
lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai
hepatomegali dan splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada
minggu kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan
laboratorium tes fungsi hati abnormal.
3.
Fase
Penyembuhan
Fase ini
ditandai dengan menurunnya kadarenzim aminotransferase. pembesaran hati masih
ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.5,6
b.
Hepatitis
Fulminan
Bentuk ini
sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai prognosa
buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian.
Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi
pemeriksaan SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati
menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan muntah yang
hebat disertai gelisah, dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuria dan
uremia.5
c. Hepatitis Kronik
Kira-kira
5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik. Hepatitis
ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang mantap.6
F. Diagnosis
3,7
a.
Anamnesis
Menanyakan
tentang keluhan pasien sesuai dengan gejala-gejala yang khas pada penyakit
hati,menanyakan tentang riwayat kontak dengan darah orang yang di curigai
terinfeksi virus hepatitis dll. Anamnesis yang baik dan sistematika 80% dapat
mendiagnosis suatu penyakit.
b.
Pemeriksaan
fisik
Pada
pemeriksaan fisik biasa di ditemukan Sklera, dan kulit
ikterik. Penurunan bunyi usus besar, peningkatan lingkar abdomen, dan adanya
pergerakan cairan. Biasa juga yang khas
terdapat nyeri tekan perut kanan. Bila hepatitis kronik dengan komplikasi
sirosis hepatis maka sering ditemukan hati mengecil, spider nevi, eritema
palmar dan edema pada kedua tungkai.
c.
Pemeriksaan penunjang
§ Evaluasi Lab
Biasanya meliputi beberapa pemeriksaan
penapisan untuk fungsi hati. Pemeriksaan biokimiawi bisa mencakup: Enzim-enzim
serum termasuk SGOT/PT, alkaline phosphatase,HbsAg
Gambaran Laboratorium Yang Khas
Pada Hepatitis Virus Akut
Tipe B
HbsAg
HBsAg sudah positif dalam masa inkubasi,
biasanya 2-6 minggu sebelum timbulnya gejala-gejala. Pada Hepatitis B Akut
HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan, kemudian timbul Anti-HBs
yang akan tetap terdeteksi seumur hidup. Pada sebagian kecil Anti-HBS kemudian
bisa tidak terdeteksi. Bila HBsAg tidak hilang,dan persisten lebih dari 6 bulan
dinamakan Hepatitis B kronik. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap Hepatitis
B kronis, HBsAg timbul antara usia 6 minggu sampai 6 bulan dan umumnya bersifat
persisten.
HBeAg
HBeAg terdeteksi dalam serum dalam waktu
singkat setelah terdeteksi HBsAg. HBeAg bersama dengan HBVDNA adalah
tanda-tanda bahwa ada replikasi HBV yang masih aktif. Bila infeksi mereda HBeAg
hilang dari serum dalam waktu singkat sebelum HbsAg menghilang
HBV DNA
Seperti HBeAG, HVDNA adalah petanda
bahwa ada replikasi HBV yang masih aktif. Ditemukan dan hilang dari serum
kira-kira bersamaan dengan HBeAg.
Setelah terinfeksi HBV, penanda
virologik pertama yang terdeteksi dalam serum selama 1-12 minggu, biasanya
antara 8-12 minggu, adalah HbsAg. Sirkulasi HbsAg mendahului peningkatan
aktivitas serum aminotransferase dan gejala-gejala klinis 2-6 minggu dan tetap
terdeteksi selama fase ikterik atau fase simtomatik dari hepatitis B akut dan
sesudahnya. Setelah HbsAg tidak terdeteksi 1-2 bulan setelah onset dari jaundice
dapat bertahan lebih dari 6 bulan.
Setelah HBsAg menghilang, antibody terhadap HBsAg
(anti-HBS) mulai terdeteksi dalam serum dan bertahan sampai waktu yang tidak
terbatas. Karena HbcAg intraseluler dan ketika di dalam serum, tersembunyi
dalam mantel HbsAg, jelas terlihat HbcAg tidak bersirkulasi dalam serum dan
oleh karena itu, HBcAg tidak terdeteksi dalam serum pasien dengan infeksi HBV.
Di lain pihak, antibodi terhadap HbcAg (anti-HBc)
dengan cepat terlihat dalam serum dimulai dalam 1-2 minggu pertama setelah
timbulnya HbsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa
minggu hingga beberapa bulan. Karena terdapat
variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs setelah infeksi HBV, kadang
terdapat suatu tenggang waktu beberapa minggu atau lebih yang memisahkan
hilangnya HbsAg dalam timbulnya anti-HBs. Selama periode ‘gap’ atau ‘window
period’ ini anti-HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi HBV yang sedang
berlangsung, dan darah yang mengandung anti-HBc tanpa adanya HbsAg dan anti-HBs
telah terlibat pada pada perkembangan
hepatitis B akibat transfusi. IgM
Anti-Hbc terdeteksi kira-kira selama 6 bulan pertama setelah infeksi
akut, sedangkan IgG anti-HBc setelah 6 bulan. Oleh karena itu, pasien yang
menderita hepatitis B akut memiliki IgM anti-HBc dalam serumnya.
§ Evaluasi radiographic
USG
paling
baik digunakan sebagai alat penapis untuk memperlihatkan dilatasi
percabangan-percabangan saluran empedu dan memperlihatkan batu empedu. Alat ini
juga dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit parenkim.
G. Penatalaksanaan
1. Non-Farmakologi
Pasien
hepatitis B harus menghindar kontak seksual sampai antigenemia hilang. menghindari semua hepatitisatotoksin,
terutama alcohol. pengaturan diet yang tepat dapat mempercepat pemulihan fungsi
hati. Pemberian
protein bermutu tinggi dan vitamin dapat mempercepat pemulihan dari sel-sel hati yang mengalami kerusakan
seperti Aminoleban mengandung AARC / BCAA ( Branch
Chain Amino Acids) kadar tinggi serta diperkaya
dengan asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral.
Nutrisi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan
kadar albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Dosis Dewasa 500-1000 ml/dosis dengan
infus drip intravena 25-40 tetes/menit
Namun perlu diingat bahwa pemberian
protein harus disesuaikan dengan toleransi tubuh penderita karena bila berlebih
dapat menyebabkan kadar ammonia dalam darah meningkat atau tidak seimbang
sehingga timbullah berbagai gangguan dalam tubuh. Oleh karenanya, diperlukan
suatu pengaturan diet yang tepat untuk penderita hepatitis agar diperoleh
pemulihan yang maksimal.1
Tujuan pengaturan diet pada penderita
penyakit hati adalah memberikan makanan cukup untuk mempercepat perbaikan
fungsi tanpa memperberat kerja hati. Syaratnya adalah sebagai berikut :3,6
1.
Kalori tinggi, kandungan
karbohidrat tinggi, lemak sedang dan protein disesuaikan dengan keadaan
penderita.
2.
Diet diberikan secara
berangsur, disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi pendeita.
3.
Cukup vitamin dan mineral.
4.
Rendah garam atau cairan
dibatasi bila terjadi penimbunan garam/air.
5.
Mudah dicerna dan tidak merangsang.
6.
Bahan makanan yang mengandung gas dihindarkan
Macam - Macam Diet
Untuk Penderita Penyakit Hati 4
a.
Diet 1
Untuk penderita
sirosis hati yang berat dan hepatitis akut prekoma. Biasanya diberikan makanan
berupa cairan yang mengandung karbohidrat sederhana misalnya sari buah, sirop,
teh manis. Pemberian protein sebaiknya dihindarkan. Bila terjadi penimbunan
cairan atau sulit kencing maka pemberian cairan maksimum 1 liter perhari. Diet
ini sebaiknya diberikan lebih dari 3 hari.
b.
Diet 2
Diberikan bila keadan
akut atau prekoma sudah dapat diatasi dan mulai timbul nafsu makan. Diet
berbentuk lunak atau dicincang, tergantung keadaan penderita. Asupan protein
dibatasi hingga 30 gram perhari, dan
lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.
c.
Diet 3
Untuk penderita yang
nafsunya cukup baik. Bentuk makanan lunak atau biasa, tergantung keadaan
penderita. Kandungan protein bisa sampai 1 g/kg berat badan, lemak sedang dalam
bentuk yang mudah dicerna.
d.
Diet 4
Untuk penderita yang
nafsu makannya telah membaik, dapat menerima protein dan tidak menunjukan
sirosis aktif. Bentuk makanan lunak atau biasa, tergantung kesanggupan
penderita. Kalori, kandungan protein dan hidrat arang tinggi, lemak, vitamin
dan mineral cukup.
Kelompok Makanan
Sehari-hari
Secara praktis, makanan sehari-hari dapat dibagi menjadi 3
kelompok :
1.
Kelompok kuning
Makanan yang
digunakan sebagai sumber energi seperti nasi, kentang, minyak, gula, dan kue.
Asupan makanan dari kelompok ini harus ditetapkan jumlahnya perhari.
2.
Kelompok hijau
Kelompok makanan yang
harus dimakan sesuai kebutuhan. Contohnya sayur-sayuran dan buah-buahan. Karena
mengandung serat, makanan ini bisa mencegah sembelit. Makanan ini mengandung
pula vitamin dan mineral.
3.
Kelompok merah
Terdiri atas makanan
banyak protein misalnya daging, telur, ikan dan lain-lain. Konsumsi makanan
kelompok ini harus berhati-hati karena bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih
akan mengakibatkan peningkatan kadar ammonia dalam darah.
Pemilihan Bahan Makanan Bagi Penderita Hepatitis:4,5
1.
Hindari makanan yang dapat
menimbulkan gas, seperti ubi, singkong, kacang merah, kol, sawi, lobak, nangka,
durian dan lain-lain.
2.
Hindari makanan yang telah
diawetkan seperti sosis, ikan asin, kornet, dan lain-lain.
3.
Pilihlah bahan makanan
yang kandungan lemaknya tidak banyak seperti daging yang tidak berlemak, ikan
segar, ayam tanpa kulit.
4.
Sebaiknya pilih
sayur-sayuran yang sedikit mengandung serat seperti bayam, wortel, bit, labu
siam, kacang panjang muda, buncis muda, daun kangkung dan sebagainya.
5.
Bumbu-bumbu jangan terlalu
merangsang. Salam, laos, kunyit, bawang merah, bawang putih dan ketumbar boleh
dipakai tetapi jangan terlalu banyak.
6.
Hindarkan makanan yang
terlalu berlemak seperti daging babi, usus, babat, otak, sum-sum dan santan
kental.
Bagi penderita hepatitis, terapi diet sangat penting untuk
dilakukan. Kandungan gizi pada terapi diet penderita hepatitis berbeda-beda
tergantung pada kondisi penderita. Total kalori yang diberikan juga berbeda,
tergantung besar badan dan aktifitas penderita. Selain itu, pada umumnya kurang
baik jika terlalu banyak mengurangi lemak kecuali bila ada gejala kuning pada
mata atau kulit. Lemak yang mengandung banyak asam lemak esensial seperti
minyak nabati atau minyak ikan boleh diberikan seperti biasa.
2. Farmakologi
Pada pasien yang diidentifikasi sebagai kandidat
yang sesuai untuk mendapat terapi antivirus, tujuan terapi adalah untuk menekan
replikasi HBV dan mencegah progresi penyakit hati. Respon terapi antivirus
dapat diklasifikasikan menjadi biokimia (menormalkan ALT), virologis (pembersihan
DNA HBV), serologis (menghilangkan HBeAg, serokonversi HBeAg, menghilangkan
HBsAg), atau histologis (perbaikan histologihati). Penting untuk menilai respon
virologis tidak saja selama terapi antivirus namun juga setelah terapi
dihentikan, dan menilai apakah muncul resistensi pada pasien yang melanjutkan
terapi untuk jangka panjang.3
-
Interferon
IFN Merupakan sitokin yang memiliki efek
antivirus, antiproliferatif, dan imunomodulator. Pemberian IFN memerlukan
frekuensi pemberian 3 kali seminggu, sehingga digantikan oleh pegylated-IFN
(PEG-IFN) karena PEG-IFN memiliki waktu paruh yang lebih panjang daripada IFN,
dan dapat diberikan 1 kali/minggu. Efek
samping: kelelahan, demam, sakit kepala, mual, tidak nafsu makan, kekakuan,
mialgia, artralgia, nyeri muskuloskeletal, insomnia, depresi,4
-
Lamivudin
Lamivudin, adalah obat antivirus pertama yang
dilabel untuk terapi infeksi HBV kronis di USA untuk pasien dewasa, juga
diindikasikan untuk anak-anak yang terinfeksi HBV dan HIV. Lamivudin efektif
menekan DNA HBV pada pasien HBe-Ag-positif dan negative, dan dapat menstabilkan
atau memperbaiki fungsi hati pada pasien dengan penyakit hati tingkat lanjut
temasuk sirosis terdekompensasi. Manfaat lamivudin antara lain pemberian per
oral yang nyaman, relative murah disbanding obat lain, dan ditoleransi dengan
sangat baik serta aman. Namun, manfaat lamivudin sebagai monoterapi untuk
infeksi HBV kronis sangat dibatasi oleh tingginya angka resistensi. Resistensi
lamivudin meningkat seiring dengan durasi terapi dan dilaporkan terjadi pada
sekitar 16-32%, 42% dan 60-70% pasien setelah 1, 2 dan 5 tahun terapi.
Lamivudin masih berperan pada beberapa pasien khusus, namun karena tingginya
resistensi, lamivudin monoterapi tidak lagi menjadi pilihan untuk pasien dengan
infeksi HBV kronis yang memerlukan terapi jangka panjang.4,6
-
Adefovir Dipivoxil
Adepovir dipivoxil, pro-drug adefovir,
diindikasikan untuk terapi infeksi HBV kronis pada pasien dewasa dan remaja
usia paling sedikit 12 tahun. Adefovir efektif menekan DNA HBV dan lebih baik dibandingkan
dengan lamivudin, resistensi terjadi lebih lambat selama terapi adefovir dipivoxil,
angka resistensi berkisar 0%, 3% dan 30% setelah penggunaan 48 minggu, 96
minggu dan 240 minggu. Adefovir dipivoxil biasanya dapat ditoleransi dengan
baik, namun nefrotoksisitas terjadi pada dosis tinggi (30 mg/hari) dan muncul
ketika terdapat penyakit ginjal yang mendasari atau selama terapi bersamaan den
obat lain yang juga nefrotoksik.7
-
Entecavir
Entecavir diindikasikan sebagai terapi HBV kronis pada
dewasa dan remaja usia minimum 16 tahun, termasuk pasien yang terbukti
terinfeksi HBV resisten-lamivudin. Manfaat utama entecavir adalah potensi yang
sangat baik dan resistensi yang jarang terjadi pada pasien yang belum pernah
menggunakan analog nukleotida/nukleosida sebelumnya.7
H. Pencegahan
6
-
Pencegahan
dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health Promotion baik pada hospes
maupun lingkungan dan perlindungan khusus terhadap penularan.
-
Health
Promotion terhadap hos berupa pendidikan kesehatan, peningkatan higiene
perorangan, perbaikan gizi, perbaikan sistem transfusi darah dan mengurangi
kontak erat dengan bahan-bahan yang berpotensi menularkan virus VHB.
-
Pencegahan
virus hepatitis B melalui lingkungan, dilakukan melalui upaya: meningkatkan
perhatian terhadap kemungkinan penyebaran infeksi VHB melalui tindakan melukai
seperti tindik, akupuntur, perbaikan sarana kehidupan di kota dan di desa serta
pengawasan kesehatan makanan yang meliputi tempat penjualan makanan dan juru
masak serta pelayan rumah
-
Pada
negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada bayi yang lahir dari
ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang prevalensi rendah immunisasi diberikan
pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin hepatitis diberikan
secara intra muskular sebanyak 3 kali dan memberikan perlindungan selama 2
tahun.
Program pemberian sebagai berikut: Dewasa:Setiap kali diberikan 20 μg IM yang diberikan sebagai dosis
awal, kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan. Anak :Diberikan dengan dosis 10 μg IM
sebagai dosis awal , kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6
bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Departemen Kesehatan RI, 2010. Profil Kesehatan RI Tahun 2008. Jakarta. [Akses]: 2012 Mei 3.
Available from: URL:www.depkes.go.id
2.
WHO, 2007. Scaling Up Prevention And
Control Of Non-Communicable Diseases. The SEANET-NCD Meeting, 22-26 Oktober
2007, Phuket, Thailand. [Akses]: 2012 Maret 24. Available from: URL:http://www.searo.who.int/
3.
Maria
H, 1997, Hepatitis B Makin Meningkat, Majalah Kesehatan Masyarakat
Indonesia; tahun XXV, nomor 7
4.
Lindseth, Glenda N. Gangguan Gangguan Hati, Empedu, Dan Pankreas.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Vol.1. Jakarta:
EGC. h. 485-93
5.
Mansjoer, A, dkk, 2001. Kapita Selekta
Kedokteran. Ed. 3. Jilid.1 . Jakarta: Media Aesculapius FKUI. h. 513-7
6.
Sanityoso
A,
dkk. 2009. Hepatitis Virus
Akut, Hepatitis B Kronik. Ed. V. Jilid.1. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. h. 427-39
7.
Harrison,
Principle of Internal Medicine Edisi 9. Gangguan Hepatobilier dan Pankreas. Penterjemah
Adhi Dharma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta Utara.